Al-Imam Al-'Allaamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata:
Kita akan membahas masalah aqidah secara khusus, ringkas, lengkap dan bermanfaat insya Allah. Bab ini memperkenalkan ihwal golongan yang terselamat yaitu ahlus sunnah wal jama'ah yang merupakan golongan terbesar dari kaum Muslimin:
Segala puji bagi Allah Yang Esa. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah atas junjungan kita Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya.
Sesungguhnya kami mengetahui dan mengi'tikadkan, mempercayai dan meyakini, dan kami menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Tuhan Yang Besar, Raja Yang Maha Agung, tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada yang disembah melainkan Dia, Yang Qadim, Yang 'Azali, senantiasa Ada, Abadi, tiada awal bagi permulaan-Nya, dan tiada akhir bagi penghabisan-Nya, Yang Esa tempat meminta, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada sesuatu pun yang diserupakan dengan Dia, tidak serupa dan semacam, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Melihat lagi Maha Mendengar.
Bahwa Dia Maha Suci dari dilingkari oleh zaman, atau dibatasi oleh tempat, atau wujud-Nya sama dengan wujud seisi alam, tidak diliputi oleh arah, atau dipengaruhi oleh sifat baru, Dia bersemayam di 'Arsy-Nya sesuai dengan keadaan yang difirmankan-Nya, dan sepadan dengan makna yang dikehendaki-Nya, persemayaman yang layak dengan kemuliaan kebesaran-Nya dan ketinggian keagungan-Nya.
Dan bahwa Tuhan Maha Dekat dengan semua maujud (yang ada), dan kepada manusia pula Dia lebih dekat dari urat lehernya, dan Dia Maha Penjaga dan Maha Penyaksi terhadap segala sesuatu. Dia Maha Hidup, Berdiri dengan sendiri-Nya, tidak dihinggapi kelalaian atau ketiduran, Dialah pencipta langit dan bumi dengan seindah-indahnya, dan jika Dia hendak memutuskan sesuatu perkara, Dia hanya mengatakan, "Jadilah!", maka jadilah ia. Allah Pencipta segala sesuatu, dan Dia Pengurus terhadap semua itu.
Dan bahwa Allah SWT Berkuasa atas segala sesuatu dan Maha Mengetahui terhadap segalanya. Ilmu-Nya meliputi semua perkara dan menghitung semua yang ada, tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari ilmu Tuhanmu, seberat atom sekalipun, di langit ataupun di bumi, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya, Dia senantiasa bersamamu di mana pun kamu berada, dan Allah Maha Melihat segala yang kamu lakukan. Dia mengetahui yang rahasia dan yang tersembunyi, mengetahui segala yang di darat dan di laut, tidak sehelai daun pun gugur melainkan Dia mengetahuinya, tidak ada sebutir biji di kegelapan bumi yang basah dan kering, melainkan tercatat di dalam Kitab yang terang.
Dan bahwa Allah SWT Maha Mengetahui atas segala yang dijadikan-Nya, dan Maha Pengelola atas segala yang diciptakan-Nya. dan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi, baik atau jahat, mudharat atau pun manfaat, melainkan dengan ketentuan dan kehendak-Nya. Apa yang Dia kehendaki bakal terjadi, dan apa yang Dia tidak menghendaki tidak bakal terjadi. Sekiranya sekalian makhluk berkumpul untuk menggerakkan seekor semut, atau menahannya bergerak di alam ini, tanpa kudrat dan iradat-Nya, niscaya mereka tidak akan kuasa menggerakkan atau menahannya.
Dan bahwa Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia juga berbicara dengan kalam qadim 'azali (pembicaraan lama yang 'azali), tidak menyerupai percakapan makhluk. dan bahwa Al-Quran 'l-'Azhim adalah kalam-Nya yang qadim, dan kitab-Nya yang diturunkan atas Nabi dan Rasul pilihan-Nya, Muhammad SAW.
Dan bahwa Allah SWT Maha Pencipta atas semua yang ada, Dia Maha Pemberi rizki, Maha Pentadbir dan Pengelola terhadap segala sesuatu yang ada di alam ini menurut kehendak-Nya, tidak ada yang bisa menentang perintah-Nya, dan tidak seorang pun menyalahkan hukum-Nya. Dia Memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan siapa yang dikehendaki-Nya, Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya, dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, tetapi mereka akan ditanya.
Dan bahwa Allah SWT Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya. Mustahil terjadi sesuatu kezhaliman atau penganiayaan daripada-Nya, tak sesuatu pun yang wajib atas Allah terhadap manusia. Sekiranya Allah SWT membinasakan semua makhluk-Nya dalam sekejap mata, maka Dia pun tak bisa dianggap zalim atau menganiaya, sebab mereka semua adalah hak milik-Nya dan hamba-hamba-Nya, tentulah Dia berhak melakukan kepada hak milik-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tetapi Tuhanmu tidak menganiaya hamba-hamba-Nya. malah diberi-Nya mereka balasan pahala atas semua ketaatan yang mereka lakukan dengan kelebihan dan kemurahan-Nya, dan menyiksa mereka atas maksiat yang dilakukannya dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Sekalian hamba-Nya wajib menaati-Nya dengan mematuhi seruan yang diajarkan melalui lidah para Nabi-Nya 'alaihimush shalaatu was salaam. Kita sekalian mempercayai semua kitab yang diturunkan Allah, sekalian Rasul yang diutus-Nya, semua malaikat-Nya, dan qadar (ketentuan)-Nya yang baik dan yang jahat.
Dan kami bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Beliau diutus kepada sekalian jin dan manusia, bangsa Arab dan bangsa 'Ajam (selain Arab), dengan petunjuk dan agama yang benar, agar ditempatkan agama itu di atas semua agama, meski kaum musyrikin membencinya. Kami bersaksi pula, bahwa beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasehati umat, menyingkap kemusykilan, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad. Dan bahwa dia itu benar, dipercaya, didukung oleh berbagai bukti yang benar dan mukjizat yang luar biasa. Dan bahwa Allah telah mewajibkan atas sekalian hamba-Nya untuk mempercayainya, menaatinya, dan mengikutinya. Dan bahwa Allah SWT tidak akan menerima iman seseorang, seteguh apa pun iman orang itu, sehingga ia beriman kepada Muhammad SAW dan apa yang diajarkan dan disampaikannya tentang perkara keduniaan, keakhiratan, ataupun alam barzakh.
Di antara perkara yang wajib dipercayai oleh seorang manusia ialah perihal Munkar dan Nakir terhadap orang-orang mati di dalam kubur. Mereka akan bertanya tentang perkara tauhid, agama dan kenabian.
Kemudian, hendaklah ia beriman terhadap kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang taat di dalam kubur, dan adzab sengsara yang dirasakan oleh orang-orang yang mendurhakai Tuhan.
Kemudian hendaklah ia mempercayai hari Ba'ats (kebangkitan) sesudah mati, saat semua tubuh dan ruh dihadapkan pada pengadilan Tuhan untuk menerima hisab masing-masing. Setiap orang tidak sama keadaannya, ada yang diampuni dan ada yang dipersoalkan satu persatu, dan ada yang dibenarkan langsung memasuki surga tanpa dihisab lagi.
Kemudian, hendaklah ia mempercayai Mizan (timbangan Tuhan) yang ditimbang di dalamnya amal-amal kebajikan dan amal-amal kejahatan.
Sesudah itu, sekalian manusia akan melewati Shirath, yakni jembatan memanjang di permukaan neraka Jahannam.
Kemudian, kita wajib mempercayai Haudh, yakni sebuah perigi (telaga) yang diperkenankan Tuhan bagi Nabi Muhammad SAW, dan airnya hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman kepada beliau sebelum mereka memasuki surga. Air telaga ini mengalir dari surga.
Kemudian, hendaklah ia mempercayai syafa'at para Nabi. Sesudah itu para shiddiqin, syuhada, ulama shalihin dan orang-orang Mu'min yang lain. Dan bahwa syafa'at agung hanya dikhususkan bagi Nabi Muhammad SAW.
Kemudian, hendaklah ia mempercayai bahwa orang-orang yang beriman dan mengesakan Allah SWT, tidak kekal berdiam di neraka, malah mereka akan dikeluarkan daripadanya setelah menjalani hukuman, selagi di dalam hati mereka terdapat cahaya iman, meski sebesar atom sekalipun. Manakala orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, akan tinggal di dalam neraka selamanya, tidak akan diringankan siksaan dan adzab yang menimpa mereka, dan tidak akan dibelaskasihani lagi. Dan bahwa orang-orang yang beriman akan tinggal selamanya di dalam surga, tidak disentuh suatu kesusahan, dan mereka tidak akan dikeluarkan lagi daripadanya.
Kemudian hendaklah ia mempercayai, bahwa orang-orang yang beriman akan dibenarkan melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri, sesuai dengan kemahaagungan Allah dan kesucian kesempurnaan-Nya.
Kemudian, hendaklah ia meyakini tentang keutamaan para sahabat Rasulullah SAW dan tertib susunan mereka. Dan bahwa mereka adalah orang-orang yang lurus perjalanannya, benar perilakunya dan dipercaya. Tidak dibenarkan orang memakinya atau merendahkan taraf dan kedudukan seorang pun di antara mereka. Dan bahwa khalifah yang berhak sesudah Rasulullah SAW adalah Abubakar Ash-Shiddiq ra., kemudian Umar bin Khattab yang bergelar Al-Faruq ra., kemudian Utsman bin 'Affan yang mati syahid ra., dan sesudah itu Ali bin Abi Thalib ra. Semoga Allah SWT meridhai mereka dan sekalian sahabat Rasulullah SAW, juga para tabi'in yang baik hingga hari kiamat, dan juga sekalian dengan kemurahan-Mu, ya Tuhan Yang Maha Pemurah, Amin.
Inilah Aqidahmu!
Al-Imam Al-'Allaamah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad berkata:
Hendaknya Anda selalu membaikkan dan meluruskan aqidah dengan mengikuti kelompok yang selamat, yang dikenal diantara berbagai kelompok Islam sebagai ahlus sunnah wal jama'ah, atau mereka yang benar-benar berpegang teguh kepada teladan Rasulullah SAW serta para sahabatnya.
Tentunya bila Anda dengan pemahaman yang lurus, dalam hati nurani yang sadar, mengamati nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah yang mengandung berbagai ilmu keimanan serta sejumlah riwayat hidup para salaf saleh, sahabat-sahabat Nabi SAW dan pengikut-pengikut mereka, niscaya akan Anda ketahui dan yakini bahwa kebenaran bersama kelompok yang diberi nama "ASY'ARIYAH", yakni mereka yang dinisbahkan kepada AS-Syekh Abul Hasan Al-Asy'ari (wafat 324 H). Beliaulah yang telah menyusun kaidah-kaidah tentang aqidah ahlul haq (para pengikut kebenaran) serta mencatat dalil-dalilnya. Yakni aqidah seperti yang telah disepakati oleh para sahabat dan tabi'in serta aqidah ahlul haq di setiap tempat dan zaman dan aqidah sebagian besar ahli tasawuf, seperti diungkapkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi pada awal risalah yang disusunnya. Dan itulah pula aqidah kami (Imamul Haddad) serta kelompok kami dari kalangan Ahlul-Bait yang dikenal dengan kaum al-Husaini (keturunan Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW) dan yang dikenal juga sebagai keluarga Al-Ba'alwi (atau keluarga Alawiyin). Itu pulalah aqidah para leluhur kami, semenjak Rasulullah SAW sampai masa kita sekarang. Datuk keluarga Alawiyin tersebut di atas, yakni Al-Imam Ahmad (Al-Muhajir) bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Imam ja'far As-Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir (radiyallahu 'anhum), ketika menyaksikan timbulnya berbagai macam bid'ah di Irak, negeri asalnya, serta berkecamuknya hawa nafsu dan timbulnya pertentangan sengit dalam paham masing-masing kelompok, beliau segera mengambil keputusan untuk berhijrah dari sana. Beliau pun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sambil berdakwah dan menyebarkan ilmu-ilmu agama sehingga akhirnya mencapai negeri Hadramaut dan berdiam di sana sampai akhir hayatnya.
Sejak itu Allah SWT memberkahi keturunannya sehingga amat banyak dari mereka yang dikenal sebagai 'alim, abid, wali dan arif. Mereka itu sepenuhnya selamat dari berbagai aliran menyeleweng dan hawa nafsu menyesatkan yang bahkan telah menggelincirkan sebagian dari kalangan Ahlul-Bait di negeri-negeri lainnya. Hal itu jelas merupakan keberkahan niat suci Imam Al-Muhajir tersebut yang lari dengan agamanya dari tempat-tempat fitnah (kerusuhan dan kekacauan). Semoga Allah SWT memberinya - atas nama kami - sebaik-baik balasan yang diterima oleh seorang ayah dari putra-putranya, meninggikan derajatnya bersama para leluhurnya yang mulia di surga 'illiyyin serta mengikutsertakan kita dengan mereka dalam kandungan kebaikan dan keselamatan, serta tetap pada jalan mereka yang terjauhkan dari segala fitnah dan cobaan. Sesungguhnya Dialah yang paling Pengasih di antara segenap pengasih.
HAKIKAT ALIRAN ASY’ARIYAH
Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani berkata:
Di antara putra-putri kaum Muslimin banyak yang tidak mengerti hakikat aliran Asy’ariyah. Mereka tidak mengetahui siapa mereka kaum Asy’ariyah, bagaimana metode berpikir mereka dalam masalah aqidah. Sehingga sebagian malah tidak segan-segan memasukkan Asy’ariyah sebagai aliran sesat dan dianggap telah keluar dari Islam.
Padahal ketidaktahuan terhadap mazhab Asy’ariyah inilah yang antara lain menjadi penyebab cerai berainya kesatuan Ahlus sunnah dan pemecah kekompakan mereka. Sehingga seseorang mengira mengikuti Ahlis sunnah padahal mereka mengikuti golongan sesat. Saya tidak mengerti mengapa dihimpun antara ahli iman dan ahli kesesatan? Bagaimana bisa disamakan antara Ahli sunnah dan Mu’tazilah ekstrim yang melewati batas yakni kaum Jahamiyah?
Apakah kita akan menjadikan kaum muslimin sebagai orang-orang berdosa dan pendurhaka? Bagaimana dengan sikap Anda sendiri?
Pengikut aliran Asy’ariyah adalah mereka para Imam, pemegang panji kebenaran dari ulama kaum muslim, dimana ilmu mereka memenuhi bumi timur dan barat. Sehingga banyak orang yang mengakui keutamaan ilmu, dan keberagamaan mereka. Merekalah cerdik cendikia dari kalangan ulama ahlus sunnah yang memiliki kelebihan dalam ilmu dan keutamaan yang menentang kesombongan kaum mu’tazilah.
Merekalah yang dikatakan Ibnu Taimiyah sebagai “Ulama pembela ulama-ulama agama. Ulama Asy’ariyah adalah pembela pokok-pokok agama (ushuludin)...” (Al-Fatawa, jilid IV)
Mereka adalah sekumpulan ahli hadis, ahli fiqh, ahli tafsir dari kalangan ulama-ulama dan imam-imam. Syeikhul Islam Ahmad ibnul Hajar Al-Asqalany adalah mahaguru bagi para peminat hadis, pengarang kitab Fathul Bari ‘ala Syarah Bukhary. Beliau ini bermazhab Asy’ariyah dimana kitabnya dibutuhkan banyak orang.
Mahaguru Ahlus sunnah Imam Nawawi, pengarang “Syarah Sahih Muslim” dan beberapa karya tulis ilmiah lainnya, adalah juga pengikut aliran Asy’ariyah.
Sementara mahaguru pengikut mazhab Asy’ariyah lainnya, adalah sebagai berikut:
- Mahaguru tafsir, Imam Al-Qurthuby, pengarang kitab Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran.
- Syaihul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, pengarang buku Az-Zawajir ‘an iqtiraf al-Kabair
- Mahaguru fiqh, Imam Ahli Hujjah, Zakaria al-Anshari
- Abu Bakar Al Baqillani
- Imam Al-Asqalani, An-Nasafi, Asy-Syarbini
- Abu Hayan An-Nahwu pengarang tafsir Al-Babr al-Muhith
- Imam Ibnu Juzi pengarang Al-Tashil fi ulum al-Tanzil
Orang-orang tersebut di atas dikenal dunia sebagai para tokoh dari kalangan Asy’ariyah.
Sedangkan jika kita ingin menghitung jumlah sebenarnya para ulama ahli tafsir, hadis dan fiqh dari kalangan pengikut Asy’ariyah ini, maka tentu saja sangat memerlukan waktu lama dan membutuhkan berjilid-jilid kitab agar dapat mengidentifikasi para tokoh terkemuka tersebut, yang ilmunya memenuhi seluruh jagad.
Oleh sebab itu, kita hanya berkewajiban mengembalikan prestasi dan reputasi mereka secara proporsional, dengan cara mengakui keutamaan para ilmuwan tersebut serta keutamaan orang-orang yang telah mengabdikan dirinya untuk kepentingan agama.
Sebaliknya, kebaikan dan keuntungan apakah yang kita dapat dengan menuduh para ulama dan para salaf yang saleh itu sebagai orang sesat dan menyeleweng?
Bagaimana mungkin Allah akan membuka pintu rahmat-Nya agar kita dapat mengambil faedah dari ilmu mereka, kalau kita sendiri menilai dalam ilmu mereka ada penyelewengan dari jalan Islam?
Dalam hal ini saya berani bertanya; “Apakah ada ulama di masa kini dari kalangan sarjana, para doktor dan atau jenius lain misalnya, yang mampu berbuat seperti Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Nawawi, yakni berbakti tanpa pamrih semata-mata untuk melestarikan dan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang suci, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh kedua Imam agung itu?”
Bagaimana mungkin kita bisa menuduh mereka dan ulama Asy’ariyah lainnya sesat, padahal kita sangat membutuhkan ilmu mereka?
Saya mengajak dengan tulus dan ikhlas, semua juru dakwah dan praktisi dalam bidang dakwah Islamiyah, agar selalu bertakwa kepada Allah dalam masalah umat Nabi Muhammad, terutama para ulamanya yang mulia, dan ahli fiqhnya yang pilihan, karena umat Muhammad itu selalu dalam kebaikan sampai akhir nanti.
Sedangkan tidak akan pernah ada kebaikan dalam diri kita, jika kita sendiri tidak mengetahui nilai dan keutamaan para ulama.
AYAT TASYBIH
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat/madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih
Madzhab ini mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dengan i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan) Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu Hanifah. Dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dengan makhluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil
Madzab ini menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah. Seperti ayat :
”Nasullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14). Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Al Qur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui Aku disisinya adalah akan kau temui pahalaKu dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125) Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
Walillahittaufiq
IBN TAIMIYAH MELURUSKAN PEMAHAMANNYA
Berkata Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148 dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab nasnya:
وأما تقي الدين فإنه استمر في الجب بقلعة الجبل إلى أن وصل الأمير حسام الدين مهنا إلى الأبواب السلطانية في شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، فسأل السلطان في أمره وشفع فيه ، فأمر بإخراجه ، فأخرج في يوم الجمعة الثالث والعشرين من الشهر وأحضر إلى دار النيابة بقلعة الجبل ، وحصل بحث مع الفقهاء ، ثم اجتمع جماعة من أعيان العلماء ولم تحضره القضاة ، وذلك لمرض قاضي القضاة زين الدين المالكي ، ولم يحضر غيره من القضاة ، وحصل البحث ، وكتب خطه ووقع الإشهاد عليه وكتب بصورة المجلس مكتوب مضمونه : بسم الله الرحمن الرحيم شهد من يضع خطه آخره أنه لما عقد مجلس لتقي الدين أحمد بن تيمية الحراني الحنبلي بحضرة المقر الأشرف العالي المولوي الأميري الكبيري العالمي العادلي السيفي ملك الأمراء سلار الملكي الناصري نائب السلطنة المعظمة أسبغ الله ظله ، وحضر فيه جماعة من السادة العلماء الفضلاء أهل الفتيا بالديار المصرية بسبب ما نقل عنه ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق ، انتهى المجلس بعد أن جرت فيه مباحث معه ليرجع عن اعتقاده في ذلك ، إلى أن قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه ، وأشهد عليه بما كتب خطا وصورته : (( الحمد لله ، الذي أعتقده أن القرآن معنى قائم بذات الله ، وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية ، وهو غير مخلوق ، وليس بحرف ولا صوت ، كتبه أحمد بن تيمية . والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية . والقول في النزول كالقول في الاستواء ، أقول فيه ما أقول فيه ، ولا أعلم كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، وليس على حقيقته وظاهره ، كتبه أحمد بن تيمية ، وذلك في يوم الأحد خامس عشرين شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة )) هذا صورة ما كتبه بخطه ، وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين ، وأشهد عليه بالطواعية والاختيار في ذلك كله بقلعة الجبل المحروسة من الديار المصرية حرسها الله تعالى بتاريخ يوم الأحد الخامس والعشرين من شهر ربيع الأول سنة سبع وسبعمائة ، وشهد عليه في هذا المحضر جماعة من الأعيان المقنتين والعدول ، وأفرج عنه واستقر بالقاهرة
Berikut adalah terjemahan beberapa yang penting dari nas dan kenyataan tersebut:
1-
ووجد بخطه الذي عرف به قبل ذلك من الأمور المتعلقة باعتقاده أن الله تعالى يتكلم بصوت ، وأن الاستواء على حقيقته ، وغير ذلك مما هو مخالف لأهل الحق
Terjemahannya: “Dan para ulama telah mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telah pun diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat) berkaitan dengan akidahnya bahwa Allah ta’ala berkata-kata dengan suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (yaitu duduk) dan selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”.
Ulasan :
Ini adalah bukti dari para ulama Islam di zaman Ibnu Taimiah bahwa dia berpegang dengan akidah yang salah sebelum bertaubat daripadanya, diantaranya Allah beristawa secara hakiki iaitu duduk.
Golongan Wahhabiyah sehingga ke hari ini masih berakidah dengan akidah yang salah ini yaitu menganggap bahawa Istiwa Allah adalah hakiki. Sedangkan ibnu Taimiah telah bertaubat dari akidah tersebut.
2-
قال بحضرة شهود : ( أنا أشعري ) ورفع كتاب الأشعرية على رأسه
Terjemahannya: ” Telah berkata Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’ dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”.
Ulasan :
Kepada Wahhabi yang mengkafirkan atau menghukum sesat terhadap Asy’ariah, apakah mereka menghukum sesat juga terhadap Syeikhul islam mereka sendiri ini?!
Ibnu Taimiah mengaku sebagai golongan Asy’ary malangnya Wahhabi mengkafirkan golongan Asya’ry pula.
3-
والذي أعتقده من قوله : ( الرحمن على العرش استوى ) أنه على ما قاله الجماعة ، أنه ليس على حقيقته وظاهره ، ولا أعلم كنه المراد منه ، بل لا يعلم ذلك إلا الله تعالى ، كتبه أحمد بن تيمية
Terjemahan khot tulisan Ibnu Taimiah dihadapan para ulama islam ketika itu dan mereka semua menjadi saksi kenyataan Ibnu Taimiah :
” Dan yang aku berpegang mengenai firman Allah ‘Ar-Rahman diatas Arasy istawa’ adalah sepertimana berpegangnya jemaah ulama islam, sesungguhnya ayat tersebut bukan bererti hakikatnya(duduk) dan bukan atas zohirnya dan aku tidak mengetahui maksud sebenar-benarnya dari ayat tersebut bahkan tidak diketahui makna sebenr-benarnya dari ayat tersebut kecuali Allah.Telah menulis perkara ini oleh Ahmad Ibnu Taimiah”.
Ulasan:
Ibnu Taimiah telah bertaubat dan mengatakan ayat tersebut bukan atas zohirnya dan bukan atas hakikinya iaitu bukan bererti Allah duduk mahupun bertempat atas arasy.
4-
وأشهد عليه أيضا أنه تاب إلى الله تعالى مما ينافي هذا الاعتقاد في المسائل الأربع المذكورة بخطه ، وتلفظ بالشهادتين المعظمتين
Terjemahannya berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahwa Ibnu Taimiah telah bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masalah akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua kalimah syahadah (bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi terdahulu)”.
Selain Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148 dan Imam As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab yang menyatakan kisah taubat Ibnu Taimiah ramai lagi ulama islam yang menyaksikan dan menceritakan kisah pengakuan tersebut antaranya lagi :
-As-Syeikh Ibnu Al-Mu’allim wafat tahun 725H dalam kitab Najmul Muhtadi Wa Rojmul Mu’tadi cetakan Paris nom 638.
-As-Syeikh Ad-Dawadai wafat selepas 736H dalam kitab Kanzu Ad-Durar – Al0Jam’-239.
-As-Syeikh Taghry Bardy Al-Hanafi bermazhab Hanafiyah wafat 874H dalam Al-Minha As-Sofi m/s576 dan beliau juga menyatakn sepertimana yang dinyatakan nasnya oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam kitabnya yang lain berjudul An-Nujum Az-Zahirah Al-Jami’ 580.
Merekalah dan selain mereka telah menyatakan taubat Ibnu Taimiah daripada akidah Allah Duduk dan bertempat di atas arasy.
Semoga Allah merahmati hambaNya yang benar-benar mencari kebenaran..
Mau Beli Kitab Baru? Hati-Hati dengan Distorsi Wahabi
Sejak abad dua belas Hijriah yang lalu, dunia Islam dibuat heboh oleh lahirnya gerakan baru yang lahir di Najd, populer dengan nama gerakan Wahabi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa aliran Wahabi berupaya keras untuk menyebarkan ideologi mereka ke seluruh dunia dengan menggunakan segala macam cara. Di antaranya dengan mentahrif kitab-kitab ulama terdahulu yang tidak menguntungkan bagi ajaran Wahhabi. Hal ini mereka lakukan juga tidak lepas dari tradisi pendahulu mereka, kaum Mujassimah yang memang lihai dalam men-tahrif kitab.
Tradisi tahrif ala Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang mereka warisi dari pendahulunya, kaum Mujassimah itu, juga berlangsung hingga dewasa ini dalam skala yang cukup signifikan. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 300 kitab yang isinya telah mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil orang-orang Wahabi.
* Di antaranya adalah kitab al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab al-Ibanah tersebut dengan al-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr.
* Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-tahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu’man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Menurut Syaikh Muhammad Nuri al-Daitsuri, seandainya tafsir Ruh al-Ma’ani ini tidak mengalami tahrif, tentu akan menjadi tafsir terbaik di zaman ini.
* Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-tahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Sehingga tafsir ini bukan lagi Tafsir al-Zamakhsyari, namun telah berubah menjadi tafsir Wahabi.
* Hasyiyah al-Shawi 'ala Tafsir al-Jalalain yang populer dengan Tafsir al-Shawi, mengalami nasib serupa. Tafsir al-Shawi yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-’Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7.
* Kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali, juga tidak lepas dari tahrif mereka. Wahabi telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab tersebut, karena tidak sejalan dengan ideologi mereka.
* Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi pernah mengalami nasib yang sama. Kitab al-Adzkar dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna’uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-tahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-’Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang.
Demikianlah beberapa kitab yang telah ditahrif oleh orang-orang Wahabi. Tentu saja tulisan ini tidak mengupas berbagai cara tahrif dan perusakan Wahhabi terhadap kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah peninggalan para ulama kita. Namun setidaknya, yang sedikit ini menjadi pelajaran bagi kita agar selalu berhati-hati dalam membaca atau membeli kitab-kitab terbitan baru. Wallahu a’lam.
SEJARAH RINGKAS NABI MUHAMMAD SAW
Wajiblah atas tiap-tiap orang mukmin yang mukallaf mengetahui sejarah hidup Rasulullah SAW sebagai mana telah dijelaskan oleh ulama untuk mengetahui sejarahnya dengan ringkas (ikhtishor).
Nabi Muhammad dilahirkan di kota Mekah malam Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah. Bertepatan dengan tanggal 20 April 571 Masehi. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthallib ibunya bernama Aminah binti Wahab.
Dan telah diriwayatkan bahwa beliau dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan, bermata bagaikan bercelak, tali pusatnya telah terpotong bersih. Bersamaan dengan waktu kelahiran beliau tampak beberapa keajaiban yang membuktikan bahwa ia insan termulia di antara semua makhluk, paling utama di antara yang dikasihi Allah. Sebagaimana diriwayatkan Abdurrahman bin Auf dari ibunya bernama Syaffa (semoga ridha Allah atas diri keduanya):
“Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali; lalu kudengar suara berkata: ‘Semoga rahmat Allah atas dirimu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di hadapannya menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian gedung-gedung orang Rum. Lalu kubalut ia dalam pakaiannya dan kutidurkan. Namun tiba-tiba kegelapan dan ketakutan datang meliputi diriku dari kananku, sehingga aku menggigil karenanya. Dan kudengar suara bertanya: ‘Kemana ia kau bawa pergi?’ ‘Ke barat’ jawab suara lainnya. Lalu perasaan itu menghilang dari diriku. Namun sejenak kemudian kembali lagi kegelapan dan ketakutan meliputi diriku, datang dari sebelah kiri hingga tubuhku menggigil karenanya. Dan kudengar lagi suara bertanya: ‘Kemana ia kau bawa pergi?’ ‘Ke timur!’ jawab suara lainnya. Peristiwa itu melekat dalam pikiranku, sampai tiba saat beliau menjadi utusan Allah, maka aku pun termasuk di antara orang-orang pertama yang mengikutinya dalam Islam...”
Saat masih dalam kandungan ibunda beliau, ayah Nabi SAW meninggal dunia dalam usia 18 tahun di Madinah. Ketika Nabi SAW berusia enam tahun ibundanya wafat di Abwa. Kemudian Nabi SAW dirawat oleh kakeknya, Abdul Muthallib. Dua tahun kemudian kakeknya meninggal dunia. Lalu Nabi SAW dipelihara oleh paman beliau, Abu Thalib ayahnya Sayidina Ali kwh.
Setelah dilahirkan Nabi SAW diserahkan kepada Suaibah selama enam hari untuk diberi ASI. Kemudian ibundanya yang mulia menyerahkan tugas menyusukan dan mengasuh serta mendidiknya kepada sayidah Halimah. Dua tahun Nabi SAW tinggal bersama Halimah dan suaminya, dan selama itu keduanya menikmati berkah dan mukjizat-mukjizatnya yang mengagumkan setiap mata yang menyaksikan.
Nabi saw adalah keturunan bangsawan Quraisy di negeri Mekah. Rasulullah SAW tumbuh dengan sifat-sifat paling sempurna dikelilingi pemeliharaan Allah Maha Kuasa serta diliputi rahmat-Nya berlimpah-limpah. Ia tumbuh dalam sehari seperti bayi lain dalam sebulan. Keluhuran pribadinya tampak sempurna sejak usianya yang amat muda; menjadi saksi bahwa dialah penghulu (sayyid) keturunan Adam semuanya.
Usia sepuluh tahun Nabi SAW mengangon kambing. Dari usia sepuluh tahun sampai dua puluh lima tahun Nabi SAW ikut pamannya berniaga ke negeri Syam. Kurang lebih 10 tahun lamanya Nabi mempunyai pengalaman berniaga. Usia 25 tahun Nabi menikah dengan Sayidah Khadijah di negeri Mekah. Bintang-bintang kemujuran selalu bersamanya; demikian pula segenap benda di alam ini menampakkan kesetiaan dan kepatuhan padanya. Tiap kali ia ‘meniupi’ penderita sakit niscaya Allah melimpahkan kesembuhan baginya. Tiap kali berdoa memohon hujan niscaya Allah selalu menurunkannya. Demikianlah keadaannya sehari-hari sampai ia telah melewati masa mudanya dan mencapai usia dewasa. Saat itulah – diusia 40 tahun – Allah mengkhususkannya dengan kemuliaan hanya baginya seorang. Nabi SAW menerima wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril di Gua Hira. Menurut keterangan ulama, Al-Quran diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-Quran berisi 114 surat, 30 juz, 6666 ayat.
Adapun Nabi SAW setelah kepadanya wahyu suci diturunkan, segera bertindak memikul beban dakwah dan tabligh, menyeru manusia ke jalan Allah dengan penuh kesadaran; yang diikuti dengan tulus dan patuh oleh mereka yang berpikiran terang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang beroleh kehormatan tertinggi mendahului yang lain memenuhi seruan ini.
Banyak sekali mukjizat hebat berkaitan dengan dirinya, yang kesemuanya jauh menembus kebiasaan yang berlaku, di antaranya: memperbanyak yang sedikit; kesembuhan si penderita sakit; ucapan salam terdengar dari seonggok batu; ketaatan pohon kepadanya; terbelahnya bulan purnama; pemberitaan tentang hal-hal ghaib; rintihan pokok kurma yang rindu kepadanya. Demikian pula biawak dan menjangan memberi kesaksian tentang kenabian dan kerasulannya. Dan masih banyak lagi bukti gemilang serta mukjizat-mukjizat menakjubkan, yang dijadikan Allah sebagai pendukung risalahnya.
Setahun sebelum hijrah, Nabi SAW di-Isra dan Mi’raj-kan – dimana peristiwa tersebut memberi kemuliaan bagi langit-langit serta penghuninya berkat kehadirannya – pada tanggal 27 Rajab untuk menerima perintah salat lima waktu untuknya dan untuk umatnya. Kemudian dalam usia 53 tahun Nabi hijrah ke Madinah bersama-sama sahabatnya. Nabi menegakkan Agama Islam lebih kurang selama 23 tahun. Tiga belas tahun di Mekah dan sepuluh tahun di Madinah. Semasa hidupnya, Rasulullah SAW memimpin 27 peperangan. Peperangan di bawah pimpinan beliau ini dinamakan Ghazwah. Sedang jumlah peperangan yang dilakukan atas perintah beliau SAW, tetapi di bawah pimpinan orang lain berjumlah 47 peperangan ini disebut Sariyyah.
Maka setelah Nabi SAW membina Agama Islam di Madinah, dalam usia 63 tahun Nabi berpulang ke rahmatullah di Madinah lalu dikubur di sana. Semoga Allah selalu melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Dan kita juga memohon agar Allah memberikan balasan yang lebih baik atas segala pengorbanan beliau untuk umatnya.
Demikian riwayat ringkas Nabi Muhammad saw.
Cinta sang Baginda...
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. 'Bolehkah saya masuk?' tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, 'Maafkanlah, ayahku sedang demam', kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, 'Siapakah itu wahai anakku?'
'Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,' tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
'Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,' kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
'Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?', tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
'Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. 'Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,' kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. 'Engkau tidak senang mendengar khabar ini?', tanya Jibril lagi.
'Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?' tanya Rasulullah.
'Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,' kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. 'Wahai Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.' Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
'Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu dariku, ya Jibril?'
Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
'Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,' kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
'Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.'
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan telinganya. 'Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku'
'peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.'
Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
'Ummatii,ummatii,ummatiii?' - 'Umatku, umatku, umatku'
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu.
Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi
Semoga cinta beliau ini pada kita; tidak kita balas dengan tuba; Sungguh Tega Manusia yang menuduh orang-orang yang bersholawat pada perayaan Maulid Baginda Rasulullah saw sebagai pelaku Bid'ah dholaalah yang terancam masuk neraka.
Yaa Allah; Cipratilah kami walau sedikit saja kecintaan akan kekasihMu yang sangat mulia ini yaa Robb!!!; Kecintaan yang bisa menghilangkan hasud dan segala penyakit hati lainnya dari hati kami
Aamien...
KEISTIMEWAAN SAYIDINA MUHAMMAD SAW
Berikut ini adalah ringkasan dari kalam Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani:
Allah SWT menciptakan junjungan kita sayidina Muhammad Rasulullah SAW sebagai manusia, tapi tidak sebagaimana manusia biasa (basyaran laa kal basyar), beliau adalah manusia yang martabat dan kemuliaannya di atas semua manusia. Meskipun kita umat beriman telah beroleh kehormatan menjadi pengikut Rasulullah SAW namun kita tidak dapat mengetahui setinggi apa hakikat kemuliaan dan martabatnya. Pengetahuan kita terbatas pada martabat dan kemuliaan yang ada pada sesama manusia biasa, tidak dapat mengetahui hakikat kemuliaan yang dilimpahkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW sebagai manusia di atas segala manusia. Kita ingin dan berusaha mengetahui dan memahami sejauh dan setinggi mana kemuliaan dan martabat Rasulullah SAW, namun kita terbentur pada keterbatasan kita yang jauh berada di bawah martabat beliau SAW.
Sebagian orang menyangka bahwa para nabi termasuk Nabi Muhammad SAW sama dengan manusia lain dalam berbagai hal, baik dalam keadaan – situasi dan kondisinya – maupun dalam sifat-sifatnya. Tentu saja pemahaman seperti ini merupakan suatu kesalahan besar dan kekeliruan yang nyata. Karena pandangan-pandangan keliru ini adalah milik kaum penentang para nabi. Seperti pandangan kaum Nabi Nuh as terhadapnya sebagaimana dihikayatkan dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu kecuali sebagai seorang MANUSIA BIASA SEPERTI KAMI’.” (Hud, 11:27). Lihat pula QS Al-Mukminun (23):47; Asy-Syu’ara (26):154; Asy-Syu’ara (26):185-186. Pandangan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad SAW pun tidak kalah buruknya. Mereka hanya mengakuinya sebagai manusia biasa. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah SWT: “Mereka berkata, ‘Mengapakah rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar?”
Meskipun memang dalam beberapa hal sama seperti manusia lain – sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT: Qul innamaa ana basyar mitslukum; Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku (Nabi/Rasul) ini hanyalah manusia (biasa) seperti kamu’ (Al-Kahfi, 18:110) – tetapi para nabi berbeda dari kebanyakan manusia biasa dalam berbagai sifat dan karakteristiknya. Dibawah ini kami sebutkan berbagai sifat dan keistimewaan mereka dibanding manusia biasa lainnya – sebagaimana diisyaratkan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
a. Para nabi AS adalah manusia pilihan, terlebih Nabi Muhammad SAW. Mereka dipilih dan dimuliakan oleh Allah SWT dengan dijadikan-Nya sebagai nabi/rasul. Mereka juga dianugerahi hikmah dan diberi kekuatan intelektualitas serta ketajaman berpikir.. Mereka dijadikan Allah untuk menjadi penengah di antara-Nya dan makhluk-Nya. Tugas mereka adalah menyampaikan risalah dari Allah kepada makhluk-Nya, dan memperingatkan mereka dari murka dan siksa-Nya. Mereka dibebani tugas menunjuki makhluk kepada apa yang membahagiakan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
b. Meskipun biasa makan, minum, dan berjalan-jalan di pasar, kadang-kadang sehat dan kadang-kadang sakit, menikah bahkan ditimpa sifat-sifat kemanusiaan seperti yang dialami manusia biasa pada umumnya – seperti lemah, tua, juga kematian – para nabi terlebih Baginda Nabi Muhammad SAW mempunyai kelebihan, keistimewaan, dan sifat-sifat agung. Sifat-sifat itu merupakan suatu kelaziman bahkan termasuk hal-hal primer yang mesti mereka miliki. Adapun sifat-sifat yang melekat pada diri mereka adalah sebagai berikut: jujur (shidq), menyampaikan amanah (tabligh), terpercaya (amanah), pandai (fathanah), terbebas dari aib yang sangat jelek, yang dapat membuat manusia lari darinya (as-salam minal ‘uyub almunfirat), terpelihara dari hal-hal yang dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai nabi/rasul (al-‘ishmah). Sifat-sifat ini tidak dapat dimiliki oleh manusia biasa kecuali melalui proses perjuangan melawan nafs.
c. Berikut adalah sifat dan karakteristik yang dimiliki Nabi Muhammad SAW :
- Rasulullah melihat apa yang ada di belakangnya, sebagaimana sabdanya: “Apakah kamu dapat melihat kiblatku disebelah sini? Demi Allah, tidak samar atasku rukukmu dan sujudmu. Sungguh aku melihat kamu sekalian dari belakang punggungku.” (HR. Syaikhani (Bukhari dan Muslim).
- Rasulullah SAW melihat apa yang tidak kita lihat dan mendengar apa yang tidak kita dengar, sebagaimana sabda beliau, “Sesungguhnya aku (dapat) melihat apa yang tidak kamu lihat, dan mendengar apa yang tidak kamu dengar.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibnu Majah)
- Ketiak Nabi yang mulia putih warnanya. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dalam berdoa sehingga terlihatlah warna putih ketiaknya.”
- Nabi Muhammad SAW terpelihara dari kebiasaan menguap. Sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan dalam At-Tarikh dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf serta Ibnu Sa’d dari Yazid ibn Al-Asham yang mengatakan: “Nabi Muhammad SAW tidak pernah menguap sama sekali.
- Keringat Rasulullah SAW harum baunya. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas ra yang bercerita: “Rasulullah SAW pernah datang kepada kami. Beliau tidur siang di tempat kami. Ia tampak berkeringat. Lalu datanglah ibuku membawa sebuah botol. Ia berusaha menampung keringat Rasulullah. Rasulullah SAW terbangun. Ia bersabda: ‘Ya ummu Sulaim, apa yang engkau perbuat?’ Ia menjawab: ‘Keringat. Ia akan kami jadikan minyak wangi; pasti akan menjadi minyak wangi yang paling wangi’.”
- Rasulullah SAW tidak memiliki bayangan. Al-Hakim dan At-Turmudzi meriwayatkan dari Dzakwan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW itu tidak ada bayangannya, baik dari sinar matahari maupun bulan.” Bagaimana tidak, beliau adalah cahaya di atas cahaya (nuron faaqo kulla nuur).
- Nabi Muhammad SAW tidak dihinggapi lalat. Al-Qadhi ‘Iyadh – dalam Asy-Syifa – dan Al-‘Azafi – dalam maulidnya – menyebutkan: “Di antara keistimewaan Nabi Muhammad SAW itu adalah beliau tidak dihinggapi lalat”. Ibn Sab’ menambahkan dalam Al-Khashaa-is, “Diantara keistimewaan Rasulullah SAW adalah kutu rambut tidak mampu menyakitinya.”
- Darah beliau adalah suci. Al-Bazzar, Abu Ya’la, At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah bin Az-Zubair bahw ia pernah mendatangi Rasulullah SAW ketika ia sedang berbekam. Setelah selesai berbekam, beliau bersabda: “Hai Abdullah, pergi dan bawalah darah ini lalu tumpahkanlah di tempat yang tidak ada siapa-siapa.” Ternyata ia meminumnya. Setelah ia kembali (kepada Rasulullah SAW), Rasulullah SAW bersabda: “Hai Abdullah apa yang engkau perbuat?” Ia menjawab: Aku letakkan darah itu di suatu tempat yang menurutku pasti tidak diketahui orang.” Rasulullah SAW bersabda, “Atau mungkin kau meminumnya?” “Ya” Jawab Abdullah. Ia bersabda, “Kecelakaanlah bagi manusia dari (sebab) kamu. Dan kecelakaanlah bagi kamu dari (sebab) manusia. Mereka tidak melihat kekuatan yang ada padanya (Abdullah) dari (karena) darah itu.”
- Mata Rasulullah SAW tidur tapi hatinya tidak. Beliau bersabda, “Mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ra)
- Rasulullah SAW terpelihara dari mimpi berjimak. Beliau bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun mimpi berjimak (ihtilam). Sesungguhnya ihtilam itu dari setan.” (HR Thabrani)
- Air seni Rasulullah SAW adalah suci. Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Sufyan, dalam musnadnya, juga oleh Abu Ya’la, al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Abu Nu’aim dari Ummu Aiman yang mengatakan: “Nabi SAW bangun malam, lalu mencari kendi pada sudut rumah. Beliau buang air kecil padanya. Aku pun bangun malam dalam keadaan sangat haus. Maka aku memimun air yang ada dalam kendi itu. Di pagi hari aku beritahukan hal itu kepada Nabi. Beliau tertawa seraya bersabda, “Kamu tidak akan merasa sakit perut setelah hari ini untuk selamanya.”
Dan banyak lagi keistimewaan Nabi SAW lainnya yang tidak dapat disebut secara keseluruhan. Berikut adalah ringkasan mengenai keistimewaan Nabi Muhammad SAW yang disusun oleh sebagian ulama dalam bentuk nazham:
Nabi kita diistimewakan dengan sepuluh sifat
Ia tidak pernah berihtilam sama sekali
Tak ada padanya bayangan
Bumi menelan apa yang keluar darinya
Begitu pula lalat enggan mendekat
Kedua matanya tertidur, hatinya tak mendengkur
Terlihat olehnya apa yang ada di belakang seperti ia memandang
nya dari depan
Tidak pernah menguap, sifat yang ketujuh
Diikuti sifat lain, ia terkhitan ketika lahir
Binatang mengenalinya ketika ia menaikinya
Mereka datang dengan cepat tak pernah mengelak
Posisi duduknya melebihi posisi duduk sahabatnya
Allah melimpah shalawat kepadanya, pagi dan sore hari.
PUJIAN ATAS NABI MUHAMMAD SAW
Berikut adalah ringkasan dari kalam Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani:
Adalah suatu pemahaman yang perlu diluruskan yang mengatakan bahwa siapa pun yang memuji Nabi Muhammad SAW dan mengangkatnya melebihi kebanyakan orang, menyanjungnya, dan menyifatinya dengan apa saja yang membedakannya dari yang lain, berarti ia telah melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’), suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum) dan berarti ia telah melakukan bid’ah dalam agama serta bertentangan dengan Sunnah Sayyidina, Nabi Muhammad SAW. Mengapa salah pendapat tersebut? Sebab Nabi Muhammad SAW hanya melarang memujinya – secara berlebihan – sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani terhadap Nabi Isa AS, yang mengatakan bahwa “(Nabi Isa) itu putra Allah”. Maksudnya, orang yang memuji Nabi Muhammad SAW –secara berlebihan – dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang diberikan kaum Nasrani terhadap Nabi Isa, sama saja dengan mereka.
ADAPUN ORANG YANG MEMUJI RASULULLAH SAW DAN MENYIFATINYA DENGAN SIFAT-SIFAT KEMANUSIAAN – DENGAN TETAP MENGAKUINYA SEBAGAI ‘ABDULLAH, HAMBA ALLAH DAN UTUSAN-NYA – JUGA MENJAUHKANNYA DARI KEYAKINAN SESAT SEBAGAIMANA DILAKUKAN KAUM NASRANI ADALAH ORANG YANG MEMPUNYAI JIWA TAUHID YANG SEMPURNA.
Biarkanlah apa yang diyakini kaum Nasrani pada Nabinya
Tetapkanlah sesukamu pujian yang layak bagi Nabimu dan teguhkanlah
Karena keutamaan Rasulullah SAW itu tidak terbatas
Tak ada lisan yang mampu mengungkapkannya
Satu hal yang pasti diketahui, ia adalah manusia
Ia adalah makhluk Allah yang paling utama dari semuanya
Bukankah Allah SWT pun telah memuji Nabi Muhammad SAW melalui firman-Nya: “Dan sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad SAW) benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Al-Qolam, 68:4). Allah juga memerintahkan supaya umat manusia senantiasa beradab dan mengikuti tata sopan santun bersama Nabi, baik dalam berbicara maupun dalam bertanya jawab. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi.” (al-Hujurat, 49:2). Allah SWT juga melarang kita memperlakukan Nabi sebagaimana kita memperlakukan manusia biasa, dan Dia pun mencegah kita memanggilnya dengan cara sebagaimana yang berlaku di antara kita dengan ikhwan kita. Dengan tegas, Dia berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan (terhadap) Rasul diantara kamu seperti sebagian kamu memanggil yang lain.” (An-Nur, 24:63). Allah SWT mencela orang-orang yang menyamakan Rasulullah dengan yang lain dalam rangka bergaul dan gaya hidup: “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Hujurat, 49:4).
Rasulullah SAW pun biasa dipuji dan disanjung oleh para sahabatnya yang mulia. Beliau tidak melarang mereka, apalagi menuduhnya berbuat syirik. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah, dengan tegas, memuji dirinya sendiri. Beliau bersabda,
Aku adalah manusia terbaik di antara ashhabul yamin, kelompok yang beruntung. Aku adalah manusia terbaik di antara orang-orang yang menang dan beruntung. Dan aku adalah putra Adam yang paling bertakwa dan paling mulia di hadapan Allah. Bukan sombong. (HR. Imam Thabrani dan Al-Baihaqi dalam Dalaa-il)
Malaikat Jibril AS pun memuji Baginda Nabi Muhammad SAW, ia berkata,
Aku membolak-balikkan bumi, timur dan baratnya, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad SAW dan aku pun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan (bani) Hasyim. (HR. Al-Baihaqi, Abu Nu’aim, At-Thabrani dari Siti Aisyah ra)
Abu Sa’id mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Aku adalah pemimpin (sayyid) keturunan Adam pada hari kiamat; bukan sombong. (HR. Imam Turmudzi; ia menilai hadis ini hasan shahih)
Itulah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa memuji Rasulullah SAW bukan suatu bid’ah karena telah dicontohkan oleh Allah, Nabi Muhammad sendiri, juga oleh para sahabat-sahabat beliau. Dalil-dalil diatas pun sekaligus menunjukkan KITA TIDAK DILARANG MEMUJI RASULULLAH SAW, selama menyifatinya dengan sifat-sifat kemanusiaan – dengan tetap mengakuinya sebagai ‘abdullah, hamba Allah dan utusan-Nya – juga menjauhkannya dari keyakinan sesat sebagaimana dilakukan kaum Nasrani yang memuji Nabi Isa dengan mengatakan bahwa “Nabi Isa itu putra Allah”.
Dan ketahuilah! Setinggi apapun pujian kita kepada Nabi Agung Muhammad SAW sesungguhnya kita tetap tak dapat menempatkan beliau pada posisi yang tepat – sebagaimana posisi yang telah ditetapkan Allah untuknya – dikarenakan beliau adalah manusia yang martabat dan kemuliaannya di atas semua manusia. Meskipun kita umat beriman telah beroleh kehormatan menjadi pengikut Rasulullah SAW namun kita tidak dapat mengetahui setinggi apa hakikat kemuliaan dan martabat beliau SAW. Karenanya tidak ada itu yang disebut melakukan pujian berlebihan (al-‘ithraa’) atau pun melakukan suatu sikap berlebihan yang tercela (al-ghuluww al-madzmuum). Maka, pujilah Sayyidina Nabi Muhammad SAW setinggi mungkin, karena semua itu masih kurang.... Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidninaa Muhammad.
Kisah Seorang Yang Memuji Sayyidina Muhammad saw
Dalam riwayat yang tsiqah ( kuat ) bahwa pada beberapa waktu yang lalu Syaikh Farazdaq orang yang selalu memuji Rasul shallallahu 'alaihi wasallam .
Ia terus menerus memuji Rasul , kalau kita sekarang pujian-pujian itu seperti qasidah , maka setiap tahun dia selalu datang ke maqam Rasul di Masjid Nabawy dan membaca syair-syair pujian kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan setelah itu pulang , setiap tahunnya seperti itu .
Dan setelah beberapa tahun datanglah seseorang menegurnya dan mengundangnya makan malam ke rumahnya.
Di Negara-negara timur tengah merupakan hal yang biasa jika ada orang asing di kampung mereka kemudian di undang ke rumah mereka untuk makan bersama , itu adalah hal yang umum disana . Maka Farazdaq sampailah di suatu tempat di luar kota Madinah dan masuklah ia ke dalam sebuah rumah besar , kemudian ia dipegangi oleh beberapa pengawal orang yang mengundangnya , dan orang yang mengundang itu berkata : " aku benci jika engkau memuji Rasulu , sekarang akan aku gunting
lidahmu agar kau tidak bisa lagi membaca syair untuk memuji Rasul " maka ia pun memaksanya dan mengeluarkan lidahnya dan menggunting lidah Farazdaq dan melepaskannya dan memberikan lidah itu kepada Farazdaq kemudian menyuruhnya pergi .
Maka Farazdaq pergi dan menangis menahan sakit bathin dan sakit zhahirnya , sakit zhahirnya bagaimana rasa sakit jika lidah digunting , dan sakit bathinnya karena ia tidak bisa lagi membaca syair untuk memuji Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam .
Sebagaimana biasa maka ia pun pergi ke makam Rasulullah dan ia bersandar di hadrah as syarif di dalam masjid nabawy , dan ia berkata di dalam doanya : " Wahai Allah , kalau shahibul maqam ini ( Rasulullah ) memang benci dengan perbuatanku ini maka biarkan aku agar tidak lagi memujinya ,
tetapi jika Engkau meridhai dan shahibul maqam ini ( Rasulullah ) senang jika aku terus memujinya dengan syair maka sembuhkanlah aku " , maka ia pun dalam tangisnya tertidur dan didalam tidurnya ia bermimpi Rasulullah shallallahu 'alihi wasallam berhadapan dengannya dan berkata : " mana lidahmu yang digunting oleh orang itu , ? kemudian diambil oleh
Rasul dan beliau berkata : " buka mulutmu " dan dikembalikan ke mulutnya dan Rasul berkata : " aku gembira dengan perbuatanmu , maka teruskanlah dakwahmu dan syairmu ", maka ia terbangun dan ia dapati lidahnya telah kembali pada posisinya .
Kemudian di tahun berikutnya syaikh Farazdaq kembali lagi ke maqam Rasul dan memujinya sebagaimana biasa ia lakukan tiap tahun , dan ada lagi orang yang mengundang untuk makan malam di rumahnya dan ia pun menerima undangan itu dan ia pun dibawa ke rumahnya , ketika dilihat rumah itu adalah rumah yang tahun lalu pernah ia datangi, maka syaikh Farazdaq tidak mau masuk, maka orang itu berkata : " aku ingin kau masuk, kau jangan risau aku tau kau adalah orang yang baik dan kau lihat aku adalah orang yang jujur ", maka Syaikh Farazdaq masuk dan dilihat di dalam rumah itu ada sebuah penjara dari besi dan di dalamnya ada seekor kera (monyet) besar dan kera itu terus memandangi dan mengamuk melihat syaikh Farazdaq, maka berkatalah
orang yang mengundang syaikh Farazdaq : " Wahai syaikh taukah engkau siapa yang di dalam kerangka besi itu " ? maka Farazdaq menjawab : " itu kera " , maka lelaki itu berkata : " itu ayahku yang dulu setahun yang lalu menggunting lidahmu , setelah ia melakukan itu maka Allah merubahnya menjadi seekor kera , wahai syaikh tolong doakan ayahku itu supaya diampuni Allah dan diwafatkan , kasian karena dia telah berubah menjadi kera " , Maka Syaikh Farazdaq menangis dan mendoakannya dan wafatlah seekor kera itu .
sumber:www.majelisrasulullah.org
KEDUDUKAN KHALIQ DAN MAKHLUQ
Sesungguhnya antara posisi Khaliq (pencipta) dengan posisi makhluk (hasil ciptaan) ada batas pemisah yakni iman dan kufur. Maka barangsiapa yang beri’tikad mencampur aduk antara kedua posisi tersebut artinya telah kafir. Na’udzubillah.
Tiap-tiap posisi memiliki hak yang khusus. Namun dalam hal ini, ada berbagai masalah yang perlu ditinjau terlebih dahulu, khususnya yang bersangkutan dengan kerasulan Muhammad SAW yakni; berbagai keistimewaan beliau yang membedakannya dari manusia kebanyakan, dan yang mengangkat derajatnya di atas manusia lain.
Masalah ini memang kadang-kadang nampak sulit dibedakan oleh sebagian orang, yang boleh jadi lantaran kelemahan daya pikirnya, kepicikan penalaran dan penyelidikannya, atau bisa juga karena fanatisme faham yang dianutnya, sehingga dengan terburu-buru mereka menghukum kafir atau menuduh keluar dari Islam atas orang-orang yang mengistimewakan eksistensi Rasulullah Muhammad SAW, dengan dasar hanya persangkaan bahwa telah terjadi percampuradukkan posisi antara Khaliq dengan makhluk, atau dengan persangkaan bahwa sudah terjadi pengkultusan Rasulullah SAW yang didudukkan pada posisi Khaliq.
Padahal kita berlepas diri dari tuduhan seperti itu, lantaran hanya dengan karunia Allah SWT, kita telah mengetahui apa saja yang wajib bagi Allah dan Rasul-Nya, dan mengetahui pula apa saja yang merupakan hak murni Rasulullah.
Dimana -- semua pengetahuan, pedoman, petunjuk yang telah kita dapatkan ini – kemudian kita laksanakan dengan hati-hati, tanpa bersikap ekstrim, tanpa berlebih-lebihan, sehingga mustahil sampai terjatuh ke dalam jurang kekeliruan yang mensifati beliau dengan sifat-sifat uluhiyah (berhak disembah), atau dengan sifat-sifat rububiyah (pencipta alam) dalam hal menahan atau memberi sesuatu, memberi manfaat secara murni dan mutlak, tanpa dikaitkan dengan pengaruh Allah.
Kita juga tidak pernah mensifati beliau dengan sifat sulthah (kekuasaan paripurna), sifat memelihara dengan menyeluruh, sifat mencipta, merajai alam, mengendalikan alam, Esa dalam kesempurnaan, penuh kemuliaan dan kesucian. Berhak menerima peribadatan dalam segala hal dan martabat dari peribadatan itu.
Adapun sikap berlebih-lebihan dalam hal mencintai beliau, mentaati dan merasakan ta’alluq (keterlibatan diri) pada diri Rasulullah, diperbolehkan, sama sekali tidak dilarang, bahkan sangat disukai oleh beliau.
Hanya jangan sampai melewati batas, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang artinya:
Janganlah kalian menyanjung aku kelewat batas, sebagaimana ummat Nasrani menyanjung Isa bin Maryam (menjadikannya Tuhan).
Oleh sebab itu, memuji dan berlebih-lebihan pada pujian serta penghargaan kepada beliau dalam bentuk lain dengan yang sudah terlarang merupakan sikap yang terpuji.
Lantaran jika tidak demikian, berarti memuji (dalam segala bentuknya) adalah suatu tindakan terlarang, merupakan suatu perbuatan dosa. Namun satu hal yang pasti, kesimpulan macam itu tidak akan pernah datang dari seorang muslim yang paling bodoh sekalipun.
Sedangkan dalam Al-Quran, Allah SWT sendiri sangat mengagungkan Nabi-Nya dengan pengagungan tertinggi, bahkan juga memberi perintah kepada ummat untuk mengagungkan Rasulullah SAW.
Yang dengan demikian, merupakan kewajiban bagi kita (kaum muslimin) untuk mengagungkan Rasulullah SAW, dengan catatan tidak mensifatinya dengan sifat-sifat Rububiyah misalnya. Semoga rahmat Allah SWT diberikan kepada penggubah syair berikut:
Biarkanlah apa yang diyakini kaum Nasrani pada Nabinya
Tetapkanlah sesukamu pujian yang layak bagi Nabimu dan teguhkanlah
Karena keutamaan Rasulullah SAW itu tidak terbatas
Tak ada lisan yang mampu mengungkapkannya
Satu hal yang pasti diketahui, ia adalah manusia
Ia adalah makhluk Allah yang paling utama dari semuanya
Jadi, dalam hal mengagungkan Nabi dengan pujian yang tidak mengandung sifat rububiyah yang mutlak merupakan hak Allah, tidak ada kekafiran dan kesyirikan di dalamnya.
Bahkan, hal itu merupakan bentuk lain dari suatu ketaatan yang bernilai taqarrub kepada Allah.
Begitu pula hendaknya kepada orang-orang yang diagungkan Allah seperti para nabi dan rasul-Nya, para malaikat, shiddiqin, syuhada, dan shalihin.
Allah berfirman:
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. ( Al-Hajj, 22:32)
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. ( Al-Hajj, 22:30)
Termasuk yang harus dihormati, dimuliakan dan diagungkan oleh kaum muslimin adalah Ka’bah yang mulia, Hajar Aswad, dan Makam Ibrahim as. Yang memang secara fisik semuanya hanya berbentuk batu.
Namun jangan lupa, Allah SWT telah menyuruh kita mengagungkan dan menghormatinya dengan adanya kewajiban melakukan tawaf misalnya, mencium Hajar Aswad, shalat di belakang Makam Ibrahim as, dan berhenti untuk berdo’a di Mustajar, di pintu Ka’bah serta di Multazam, dimana dalam kegiatan ini yang kita ibadahi tidak ada lain selain Allah SWT.
KEDUDUKAN MAKHLUK
Adapun mengenai posisi makhluk yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah SAW, maka beliau itu juga manusia biasa. Sehingga apa yang jaiz bagi kebanyakan orang, jaiz pula bagi Rasulullah.
Artinya beliau boleh-boleh saja bersifat dan bersikap seperti umumnya manusia lain – seperti makan, minum, berkeluarga – yang sama sekali tidak akan mengurangi derajat kerasulannya. Bahkan Rasullah juga mengalami rasa sakit, khawatir, takut, lapar, haus dan sebagainya.
Dengan demikian, Rasulullah SAW juga termasuk hamba-hamba Allah, yang tak mampu menolak takdir seperti; bahaya, sakit, atau bahkan kematian misalnya.
Dengan kata lain, sosok Muhammad sebagai Rasulullah SAW, sama sekali tidak berkuasa atas dirinya sendiri dalam hal kehidupan, kematian, dan kebangkitan kembali, kecuali apa yang dikehendaki Allah SWT.
Firman Allah SWT:
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan, kecuali jika dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya, dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (Al-A’raf, 7: 188)
Oleh sebab itu, dengan penuh konsekwensi Nabi SAW menunaikan tugas risalahnya, menyampaikan amanah, menasehati ummat, mengusir kegundahan, berjihad di jalan Allah sampai wafatnya, berpulang ke hadirat-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai Allah SWT.
Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu akan mati, dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). (Az-Zumar, 39:30)
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? (Al-Anbiya, 21:34)
Ubudiyah (gairah beribadah) merupakan sifat mulia manusia, yang terutama terdapat pada diri Rasulullah SAW. Oleh karena itu, beliau selalu bermegah diri dengan posisinya sebagai “hamba”. Beliau bersabda: innama ana abd (bahwasanya aku hanyalah seorang hamba). Sedangkan Allah SWT telah mensifatkan beliau dalam kondisi tertingginya sebagai hamba, melalui firman-Nya:
Maha Suci Allah yang telah mengisrakan hamba-Nya. (Al-Israa, 17:1)
Sifat basyariah (kemanusiaan) yang ada pada diri beliau juga merupakan ainul i’jaz, atau salah satu kemukjizatan seorang Nabi. Lantaran Rasulullah SAW, walaupun memang hanya seorang manusia biasa dari sekian banyak manusia yang ada di dunia ini, namun, beliau memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia lain. Bahkan tidak akan ada manusia yang dapat menyamainya. Sebagaimana sabda beliau dalam sebuah hadits shahih (artinya):
Aku tidaklah seperti bentuk kalian, aku berada di sisi Tuhanku, diberikan-Nya aku makan dan minum. (HR. Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad)
Hadis ini jelas mengisyaratkan bahwa; jika kita menyatakan sifat kemanusiawian Rasulullah SAW, maka haruslah disertai dengan penunjukkan sifat-sifat lainnya yang membedakan diri beliau dari manusia pada umumnya, dengan jalan menyebutkan berbagai keistimewaan sifat dan sikap yang hanya dimilikinya serta menyebutkan biografi beliau yang terpuji.
Rasulullah sendiri – dengan segala kejujurannya – telah menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT memuliakannya dengan pemberian-Nya berbagai sifat agung, dan hal-hal yang menyalahi hukum kebiasaan (mukjizat), yang kesemuanya itu telah membedakan beliau dari manusia kebanyakan.
Sekedar contoh, kami kutipkan beberapa hadis shahih, dimana Rasulullah SAW bersabda (artinya):
Sesungguhnya kedua mataku tidur, tapi hatiku tidak tidur. (HR. Bukhari, Abu Dawud, dan Malik)
Aku melihat kalian dari belakangku seperti aku melihat kalian di depanku. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Malik, dan Ahmad)
Aku diberikan kunci-kunci perbendaharaan bumi. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ahmad)
Selain itu walaupun Nabi Besar Muhammad SAW telah lama wafat, sesungguhnya beliau masih hidup. Hidup barzahy (hidup di alam barzakh) yang sungguh sempurna; masih mendengar ucapan orang, menjawab salam, menerima shalawat dari orang yang bershalawat untuknya, dan dapat menyaksikan segala amal perbuatan ummatnya.
Sehingga beliau bersyukur apabila melihat perbuatan baik ummatnya, dan akan memohonkan maghfirah bagi ummatnya yang berbuat salah.
Allah SWT telah mengharamkan bumi memakan jasad para nabi. Sehingga tubuhnya akan selalu terpelihara dari cacat dan pengaruh tanah.
Dari Aus bin Aus, Rasulullah SAW bersabda:
Hari yang paling utama dari hari-harimu adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dicabut rohnya. Dan pada hari itu kelak ditiup sangkakala dan merupakan hari huru hara, maka hendaklah kamu banyak membaca shalawat kepadaku pada hari Jumat. Karena shalawatmu diperlihatkan kepadaku, mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimanakah shalawatmu diperlihatkan, sedang Anda telah menjadi tanah?” Nabi menjawab, “Allah mengharamkan atas bumi memakan jasad para nabi”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)
Untuk lebih jelasnya mengenai masalah ini, dapat kita simak sebuah karya Jalalludin As-Suyuthi, yang disusunnya sebagai risalah khusus.
Dari Ibnu Mas’ud ra, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda (artinya):
Hidupku lebih baik bagimu sekalian, dapat saling bercakap atau bercerita. Dan bila aku mati, itu lebih baik bagiku, lantaran diperlihatkan pula kepadaku setelah matiku amal perbuatanmu. Bila aku melihat yang baik, aku memuji Allah, dan bila aku melihat yang buruk, aku memohon ampun bagimu. (Menurut Haitsamy: Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan sanad yang shahih)
Dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda (artinya):
Tidak ada seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku agar aku menjawab salamnya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Sedangkan arti mengembalikan ruh sama dengan mengembalikan daya ucap.
Dari Amr bin Yasar ra, Rasulullah SAW bersabda (artinya):
Sesungguhnya Allah SWT menugaskan seorang malaikat di kuburku. Diberikan kepadanya daftar nama seluruh makhluk, maka setiap orang yang bershalawat kepadaku, pasti disampaikan kepadaku dari siapa saja sampai hari kiamat. Disampaikan pula namanya dan orang tuanya. Ini fulan anak fulan bershalawat kepadamu. (HR Al-Bazzar)
Jadi, walaupun nyatanya Nabi sudah wafat di dunia yang fana ini. Namun keutamaannya, kedudukannya, pengaruhnya di sisi Allah tetap lestari tanpa secuail keraguan pun di hati para ahli iman. Dan oleh sebab itu, maka sesungguhnya bertawassul dengan beliau kepada Allah SWT, pada hakikatnya kembali kepada i’tiqad dan atau keyakinan kita akan adanya keutamaan kedudukan dan pengaruh tersebut dalam kaitan cinta kasih kepadanya, serta kemuliaan beliau di sisi Allah SWT.
Maka mengenai tawasul ini, sesungguhnya kembali kepada keimanan kita terhadap pribadi Rasulullah berikut misi risalah yang diembannya. Dan semua itu, tidaklah dapat disebut sebagai beribadah kepada beliau – walaupun nyatanya Rasulullah itu agung derajatnya, bahkan ketinggian martabatnya berada di sisi-Nya – lantaran telah jelas, bahwa posisi beliau tetap sebagai makhluk, yang tidak kuasa mendatangkan manfaat dan kemudaratan kecuali atas perkenan Allah SWT.
Firman Allah SWT (artinya):
Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengaharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi, 18:110)
ALLAH KHALIQ, NABI MUHAMMAD MAKHLUQ
Sungguh telah banyak orang yang salah faham dalam menilai sesuatu yang dimiliki bersama oleh kedua maqom (posisi) – yakni posisi Khaliq dan makhluq. Yang lantas mereka terburu-buru memvonis bahwa menisbahkan sifat-sifat khaliq kepada makhluq sama artinya dengan syirik. Khususnya yang dikaitkan dengan pribadi Rasulullah yang mereka maksud: membesar-besarkan berbagai keistimewaan Rasulullah dianggap oleh mereka sama dengan mensifati beliau dengan sifat-sifat uluhiyah (berhak disembah).
Padahal ini suatu kebodohan yang nyata. Lantaran Allah SWT hanya memberikan apa yang dikehendaki-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya pula, tanpa suatu kewajiban atau keharusan yang mengikat, melainkan hanya pemuliaan terhadap siapa saja yang Dia kehendaki untuk Dia muliakan, atau Dia angkat posisinya yang Dia ingin nyatakan kelebihannya dibandingkan dengan manusia lain.
Jadi, dalam hal ini tidak ada perampasan hak-hak Allah, baik dari sudut rububiyah (pencipta dan pemilik alam), maupun uluhiyah (yang berhak disembah). Atau dengan kata lain, berbagai kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki oleh para nabi itu, sama sekali tidak akan pernah mengikis rububiyah dan uluhiyah Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Tinggi.
Dengan demikian, jika ada makhluk yang memiliki sedikit kesamaan dari salah satu sifat-Nya, maka sifat tersebut – sesuai dengan sifat nisbi manusia – pastilah sangat terbatas. Dan oleh sebab itu, juga dapat bermanfaat hanya dengan izin Allah dan dengan kemurahan serta kehendak-Nya.
Jadi, bukan karena makhluk itu sendiri. Lantaran semua makhluk, pada dasarnya lemah tak berdaya, serta tidak akan pernah memiliki daya dan upaya mendatangkan atau menolak, baik kemanfaatan maupun kemudaratan. Begitu pula manusia tidak akan pernah bisa menentukan kehidupan, kematian, dan kebangkitannya.
KEPADA BAGINDA NABI MUHAMMAD—ADA BANYAK HAL YANG MERUPAKAN HAK ALLAH SWT, NAMUN ALLAH LANTAS MEMBERIKANNYA KEPADA RASULULLAH SAW, DAN ATAU KEPADA PARA NABI YANG LAIN. DALAM HAL INI TIDAK BERARTI SIFAT-SIFAT ITU SEKALIGUS MENGANGKAT PARA NABI KHUSUSNYA NABI MUHAMMAD SAW PADA TINGKAT DERAJAT ULUHIYAH, ATAU MENJADIKANNYA SEKUTU ALLAH SWT.
Contohnya:
- SYAFA’AT, yang merupakan milik Allah SWT (Az-Zumar, 39:44) Namun demikian, terdapat hadis yang menyatakan bahwa syafaat juga dimiliki Rasulullah SAW dan para pemberi syafaat yang lain, yakni (artinya):
Aku diberi (memiliki) syafaat. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Darimi, dan Ahmad).
- ILMU GHAIB, yang merupakan sesuatu yang mutlak milik Allah (An-Naml, 27:65) Namun demikian dalam hal ini Allah juga mengajarkan ilmu ghaib kepada para nabi-Nya, sebagaimana ayat (artinya):
Allah mengetahui yang ghaib, maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya. (Al-Jin, 72: 26-27)
- HIDAYAH, juga sesuatu yang khusus milik Allah (Al-Qashash, 28:56) Namun pada ayat yang lain, terdapat penjelasan bahwa dalam soal petunjuk para nabi juga memiliki andil, yakni:
Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Dengan demikian, hidayah yang dimaksud pada ayat pertama tidak sama dengan hidayah pada ayat kedua. Hal ini bisa dipahami oleh orang-orang berakal sehat dari kaum yang beriman, yang mengerti perbedaan posisi Khaliq dan makhluk. Lantaran jika tidak demikian, niscaya ayat itu akan berbunyi:
Sesungguhnya engkau menunjuki dengan petunjuk irsyad saja. Atau boleh jadi akan berbunyi: Engkau memberi petunjuk dengan petunjuk yang berbeda caranya dengan cara Kami.
Namun semua itu tidak terjadi, melainkan Allah menetapkan bagi beliau kemampuan memberi petunjuk, tanpa embel-embel dan tanpa syarat, karena kaum muslimin sudah dapat memahami makna lafadznya, dan mengerti perbedaan madlul-nya (makna yang ditunjuk oleh lafadz itu) dengan memperhatikan (ketidaksamaan) apa yang disandarkan kepada Allah dan apa yang disandarkan kepada rasul-Nya.
Yang senada dengan itu --- sebagai bahan perbandingan – dapat kita lihat dalam Al-Quran yakni pernyataan sifat Rasulullah yang rauf dan rahim oleh Allah dalam ayat (bil mu’miniina rauufr rahiim).
Maka dengan demikian kita pun maklum bahwa sifat ra’fah dan rahmah (kasih sayang dan cinta) yang dimiliki Rasulullah, memang hasil pemberian Allah SWT. Dan yang pasti, tidak sama dengan sifat ra’fah dan rahmah milik Allah SWT.
Namun demikian, ketika Allah SWT mensifati nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut, tetap tanpa keteranga dan penjelasan yang rinci. Lantaran kaum muslimin yang membaca kitab suci Al-Quran sudah dianggap maklum akan perbedaan antara khaliq dan makhluk.
KEWAJIBAN MENGAGUNGKAN RASULULLAH
Allah Mengagungkan Nabi-Nya
Firman Allah SWT:
|
[48:8] Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, |
|
|
[33:45] Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, |
|
[49:1] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya1408 dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. |
|
[49:2] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu1409, sedangkan kamu tidak menyadari. |
|
[24:63] Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. |
Selain itu, Allah SWT melarang kita mendahului Rasul dalam berkata-kata, melarang berbicara dengan adab yang buruk di muka beliau.
Berkata Sahl bin Abdullah: “Janganlah kamu berkata sebelum beliau berkata. Jika beliau berkata dengarkan dan perhatikan. Terlarang mendahului dan tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu hal sebelum ada keputusan dari beliau, juga terlarang menfatwakan sesuatu sperti masalah peperangan dan masalah agama yang lain, kecuali dengan perintahnya, serta tidak boleh mendahului beliau.”
Berkata As-Salma: “Takutlah kepada Allah dari meremehkan hak Rasululllah dan dari menyia-nyiakan penghormatan kepada Rasulullah. Lantaran Allah Maha Mendengar perkataan kalian, Maha Mengetahui perbuatan kalian.. Lantas, Allah melarang pula untuk mengangkat suara melebihi suara Rasululullah, dan melarang bicara keras seperti yang dilakukan satu sama lain sesama kita dengan berkata keras dan mengangkat suara. Dinyatakan pula, larangan memanggil Nabi seperti satu sama lain memanggil temannya, seumpama dengan menyebut nama: “Hai Muhammad! Hai Mad! Dan lain sebagainya.”
‘Amr bin al-‘Ash -sebelum ia masuk Islam- berkata: Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai melebihi cintaku kepada Rasulullah SAW. Tidak ada yang lebih agung dalam pandanganku melebihi beliau. Tidak kuasa aku memenuhi mataku memandangnya karena kebesarannya, sehingga seandainya aku diminta untuk menggambarkan pribadi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian tentu aku tidak mampu melakukannya sebab aku tidak pernah menajamkan pandanganku kepada beliau sebagai pengagunganku kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Usamah bin Syuraik meriwayatkan: “Aku pernah menghadap Nabi Muhammad SAW, yang ketika itu sedang duduk dikelilingi oleh para sahabatnya. Nampak olehku, seakan-akan di atas kepala mereka (para sahabat yang mengelilingi beliau), ada burung yang sedang hinggap.”
‘Urwah bin Mas’ud berkata kepada kaum Quraisy: “Wahai kaumku, demi Allah, aku telah diutus ke Kisra, kaisar dan raja-raja, namun aku tidak pernah melihat seorang raja pun yang diagungkan oleh segenap rakyatnya melebihi pengagungan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, mereka tidak memandang dengan tajam kepada beliau sebagai bentuk pengagungan mereka kepadanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ketika berwudhu, mereka selalu mempersilahkan Nabi berwudhu terlebih dahulu. Mereka selalu tampak selalu siap sedia untuk membela Rasulullah. Tidaklah beliau berdahak kecuali ditadah dengan telapak tangan salah seorang dari mereka, kemudian dilumurkan pada wajah dan dadanya. Tidaklah jatuh sehelai rambut Rasulullah, kecuali mereka segera memungutnya, dan setiap kali mereka mendengar perintah Nabi, maka dengan segera mereka akan tunaikan. Jika mereka berbicara, mereka merendahkan suaranya di sisi Nabi. Lalu tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamj berwudhu’, maka hampir saja mereka saling membunuh karena berebut sisa air bekas wudhu’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam hal ini ada 2 pernyataan yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Kewajiban mengagungkan Nabi, meninggikan derajatnya di atas segala makhluk.
2. Mengesakan rububiyah (ketuhanan), dan mengi’tiqadkan bahwa Allah SWT Maha Esa dalam zat-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya. Sehingga tidak ada satu makhluk pun yang mampu menyekutui-Nya.
Oleh sebab itu siapapun yang beri’tikad bahwa ada makhluk yang mampu mempersekutukan Allah dengan sesuatu dari 3 hal tersebut (zat-Nya, sifat-Nya, af’al-Nya), maka orang itu jatuh syirik. Seperti halnya orang musyrik yang beri’tikad adanya uluhiyah pada berhala-berhala dan bahwa berhala itu berhak menerima ibadah.
Dan siapapun yang mengurangi dan atau tidak mengakui adanya kemuliaan dan martabat Nabi kita Muhammad Rasulullah SAW, maka orang itu telah durhaka atau kafir.
Adapun orang yang begitu tinggi pengagungannya terhadap pribadi Nabi dengan segala macam penghormatan, tetapi ia tidak mensifatkan diri nabi dengan sesuatu milik Allah, maka orang tersebut artinya telah berbuat sesuai dengan kebenaran dan telah memelihara sisi rububiyah dan risalah (ke-tuhanan dan ke-Rasulan) secara serempak.
Itulah pendapat moderat, tidak ifrath (melewati batas) dan tidak pula tafrith (menyia-nyiakan).
Kalau kita dengar ucapan dari orang Mukmin yang menyandarkan sesuatu kepada selain Allah, maka hendaklah dibawa kepada arti majaz aqli dan tidak dibenarkan untuk mengkafirkannya. Hal ini demikian, karena majaz aqli itu banyak pula digunakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Contoh shalawat fatih yang masyhur, di situ ada perbuatan besar yang disandarkan kepada Nabi seperti: dia yang membuka apa yang tertutup, menutup apa yang sudah lewat. Atau dalam shalawat nariyah: ... terbuka dengannya semua ikatan, terusir olehnya segala malapetaka, dengan beliau segala hajat tercapai, tercapai segala harapan, dengannyalah awan menyirami, ... dan seterusnya. SEMUA INI MERUPAKAN MAJAZ AQLI.
MAJAZ AQLI DAN PENGGUNAANNYA
Majaz aqli atau makna dan maksud yang dikehendaki oleh akal – jadi bukan makna hakiki yang sebenarnya – tidak diragukan lagi telah banyak digunakan, baik di dalam Al-Quran maupun As Sunnah, sebagaimana contoh di bawah ini:
|
innamaa almu/minuuna alladziina idzaa dzukira allaahu wajilat quluubuhum wa-idzaa tuliyat 'alayhim aayaatuhu zaadat-hum iimaanan wa'alaa rabbihim yatawakkaluuna |
[8:2] Sesungguhnya orang-orang yang beriman594 ialah mereka yang bila disebut nama Allah595 gemetarlah hati mereka, dan APABILA DIBACAKAN AYAT-AYATNYA BERTAMBAHLAH IMAN MEREKA (KARENANYA), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. |
Kesimpulan bertambahnya iman seseorang akibat mendengar bacaan Al-Quran, merupakan bentuk majaz aqli. Lantaran pada hakikatnya yang menambah iman manusia hanyalah Allah SWT. Contoh lainnya dapat dilihat pada QS 73:17; 71:23-24; 40:36.
Sedangkan dalam Sunnah, majaz aqli juga banyak digunakan. Dan hanya orang-orang yang mau meneliti dan mempelajarinya yang akan mengerti, sehingga dapat mengetahui perbedaan antara isnad hakiki dan isnad majazi. Rasulullah berkata (artinya):
Ambillah, kalau Anda tidak membawanya niscaya dia (kurma) akan mendatangimu. (HR Ibnu Hibban dan Thabrani)
Dalam kasus ini, perbuatan datang (ityan) yang disandarkan kepada manusia (seorang laki-laki) berbeda artinya dengan datang yang disandarkan pada buah kurma. Dengan kata lain, pengertian datangnya buah kurma berlainan dengan datangnya seorang laki-laki itu. Pemakaian kata “datang” pada keduanya adalah majaz dengan pertimbangan yang berbeda-beda.
Majaznya penggunaan kata ‘datang’ (ityan) atas diri seorang laki-laki itu berarti bahwa Allah menjadikan pada lelaki itu kemampuan dan kemauan untuk menerimanya. Sementara datangnya buah kurma, bermakna bahwa Allah membuat penyebab (perantara) melalui orang yang menyerahkannya. Jadi, pada hakikatnya, yang membikin datang dari keduanya itu adalah Allah semata.
Menurut para ahli, bila yang melakukan isnad (menyandarkan sesuatu bukan kepada Tuhan) itu orang beriman dan meng-esa-kan Allah, maka kita tidak perlu ragu untuk menjadikan isnadnya sebagai isnad majazi (penyandaran yang tidak hakiki).
Hal ini demikian, karena menurut keyakinan yang benar, pencipta manusia dan segala perbuatannya adalah Allah. Dialah Pencipta satu-satunya. Untuk itu tidak ada satupun selain Allah dapat memberi pengaruh, baik orang yang masih hidup maupun orang yang sudah mati. Ini merupak tauhid yang murni. Dan hanya akan berbeda kalau itikadnya ke luar dari itu, lantaran akan jatuh pada kesyirikan.
Karena perbedaan sudut pandang terhadap wasithah (perantara) itu, maka suatu saat perhatian terhadap wasithah bisa membawa kepada kekafiran, seperti jawaban Qarun kepada Musa: “Innamaa U’tiituhu ala ilmin ‘indi” (semua kekayaan ini aku dapatkan karena ilmu semata). Atau juga dalam sebuah hadits (artinya):
Ada dari hamba-Ku yang satu mukmin dan satu sisi lain kafir. Yang berkata: “Kami disirami karena karunia dan rahmat Allah”, maka dia mukmin bagi-Ku (Allah) dam kafir bagi bintang-bintang. Adapun yang berkata: “Hujan ini karena bintang atau musim”, maka dia beriman kepada bintang dan kafir kepada-Ku. Kekafiran itu karena dia berpendapat bahwa perantara itu memberi bekas dan mencipta mutlak. (HR. Bukhari, Muslim, Darimi, Malik, dan Ahmad)
Menurut Imam Nawawi, para ulama berbeda pendapat tentang kekafiran orang-orang yang berkata: “Kami dapat hujan karena adanya bintang dan musim”. Perbedaan ini terbagi dua sebagai berikut:
1. Bagi mereka yang mengitikadkan bahwa bintang itu pelaku, penentu, penerbit hujan seperti yang dipegang oleh sebagian kaum jahiliyah dahulu, hukumnya kafir kepada Allah, merusak pokok iman dan menjadikannya keluar dari agama Islam. Oleh sebab itu, barangsiapa berkata demikian, maka tidak diragukan lagi kekafirannya. Inilah pendapat mayoritas para ulama, termasuk Imam Syafii. Hal ini juga terlihat jelas pada hadis tersebut di atas (Kekafiran itu karena dia berpendapat bahwa perantara itu memberi bekas dan mencipta mutlak.)
Namun jika seseorang berkata: “Kami mendapat hujan karena iklim dan beritikad bahwa semua itu datang dari Allah karena rahmat-Nya, dimana iklim merupakan musim atau tanda akan turunnya hujan menurut kebiasaan”, maka perkataan itu sama artinya dengan ucapan: “Kami mendapat hujan pada musim anu”. Sehingga ia tidaklah menjadi kafir.
Perbedaan pendapat yang masih ada hanyalah mengenai hukum makruh dari ucapan itu. Namun, hukum makruh di sini adalah makruh tanzih yang berarti tak ada dosa padanya. Sebab makruhnya kalimat itu, lantaan masih adanya keraguan antara kekafiran dan lainnya yang membingungkan, sehingga orang yang mengucapkan bisa mendapat buruk sangka dari pendengarnya, seperti dianggap syiar jahiliyah atau pengikut cara jahiliyah.
2. Takwil hadis di atas adalah kufur nikmat, yakni bagi mereka yang menyandarkan turunnya hujan pada bintang atau musim, tapi mereka tidak berkeyakinan bahwa bintang-bintang itu yang mengatur dan mengendalikan turunnya hujan. Pemahaman (takwil) demikian dikuatkan oleh pernyataan di ujung riwayat pada hadis di atas, yang berbunyi: Di antara manusia ada yang bersyukur dan ada yang kafir DENGANNYA.
Kata “dengannya” menunjukkan bahwa arti kufur pada hadis itu adalah kufur nikmat.
Dengan demikian, perbuatan menisbahkan kepada wasithah (perantara) tidak menjadikan pelakunya kafir, kecuali kalau beritikad bahwa perantaranya itu adalah pelaku yang sesungguhnya, penentu, pencipta dan pengendali.
Jadi, jika menilai wasithah itu hanya sebagai tanda, tempat atau wadah bagi penciptaan yang telah ditentukan Allah SWT, maka sama sekali tidak ada unsur kufur di dalamnya. Bahkan memperhatikan wasithah seperti itu, ada kalanya oleh syara dipujikan, seperti dalam hadis berikut (artinya):
Kalau kamu diberi kebaikan balaslah, kalau tidak bisa berdoalah untuknya sampai meyakini bahwa kamu telah membalasnya. (HR. Ahmad)
Dan sabda Rasulullah (artinya):
Barangsiapa belum (tidak) bersyukur kepada manusia, tidaklah dia bersyukur kepada Allah. (HR Ahmad)
Yang demikian itu, lantaran memperhatikan wasithah dengan cara ini dianggap tidak menafikan karunia Allah SWT. Bahkan Allah akan memuji hamba-Nya atas amal tersebut dan memberikan pula pahala kepada mereka, walaupun Allah sendiri yang membangkitkan kemauan manusia beramal dan Dia pula yang menciptakan kemampuan mereka beramal. Firman-Nya:
|
lilladziina ahsanuu alhusnaa waziyaadatun walaa yarhaqu wujuuhahum qatarun walaa dzillatun ulaa-ika ash-haabu aljannati hum fiihaa khaaliduuna |
[10:26] Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya686. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan687. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. |
Jelaslah bahwa barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu dalam soal penciptaan-Nya maka berarti telah menadi musyrik, baik yang dimaksud itu benda anorganik, manusia, nabi, malaikat, jin, atau karya dari buah tangannya sendiri.
Namun barangsiapa yang mengaitkan benda dengan penyebabnya yakni Allah SWT, atau dia jadikan Allah sebagai penyebab yang menghasilkan akibat (benda dan lain sebagainya), atau meyakini bahwa pelaku yang hakiki hanyalah Allah Yang Maha Esa, yang tidak pernah berserikat, maka tetaplah dia sebagai mukmin, walaupun misalnya dia tersalah menilai sebab sebagai bukan sebab dalam suatu hal, atau dia salah dalam menentukan sebab, bukan pada penyebab yang Maha Pencipta dan Mengatur.
WASITHAH (PERANTARA) YANG BERNILAI SYIRIK
Banyak orang salah faham mengenai hakikat perantara (wasithah). Sehingga secara mutlak ia memandang tindakan mengambil perantara itu sebagai syirik. Dan orang yang menggunakan perantara apapun bentuknya, dinilai telah menyekutukan Allah. Keadaan orang ini (yakni yang mengambil perantara), menurut mereka, tidak berbeda dengan keadaaan orang-orang kafir musyrik yang selalu berkata membela dirinya, sebagaimana firman Allah:
|
alaa lillaahi alddiinu alkhaalishu waalladziina ittakhadzuu min duunihi awliyaa-a maa na'buduhum illaa liyuqarribuunaa ilaa allaahi zulfaa inna allaaha yahkumu baynahum fii maa hum fiihi yakhtalifuuna inna allaaha laa yahdii man huwa kaadzibun kaffaarun |
[39:3] Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. |
Pernyataan mereka tersebut di atas, tidaklah dapat diterima, karena dalil Al-Quran yang digunakannya bukanlah pada tempatnya. Hal ini, karena ayat itu jelas sekali ditujukan sebagai kecaman terhadap kaum musyrikin yang menyembah berhala, menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan (obyek sembahan), dan menganggap berhala-berhala itu memiliki sifat ketuhanan (rububiyah) seperti Allah. Ayat itu mencela perbuatan mereka menyembah berhala meskipun dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Jadi kekafiran dan kesyirikan mereka timbul dari jurusan ibadah dan penyembahan mereka kepada berhala dan i’tikad mereka bahwa berhala itu adalah tuhan-tuhan selain Allah.
Di sini ada satu hal yang penting yang harus dijelaskan, yaitu bahwa ayat ini memberi kesaksian bahwa kaum musyrikin sebenarnya tidak jujur dalam menyatakan alasan atau motif penyembahan mereka terhadap berhala-berhala, yaitu ketika mereka berkata: “Kami tidak menyembah berhala kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Karena sikap yang mereka tunjukkan adalah Allah dalam jiwa mereka lebih rendah dari batu-batu berhala. Buktinya adalah sebagaimana tersebut dalam QS. Al-An’am (6): 108 yaitu:
|
walaa tasubbuu alladziina yad'uuna min duuni allaahi fayasubbuu allaaha 'adwan bighayri 'ilmin kadzaalika zayyannaa likulli ummatin 'amalahum tsumma ilaa rabbihim marji'uhum fayunabbi-uhum bimaa kaanuu ya'maluuna |
[6:108] Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. |
Jika mereka memang jujur bahwa ibadah mereka kepada berhala itu hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, niscaya tidak berani mereka mencaci Allah, sebagai tindakan balasan terhadap tindakan orang yang mencaci berhala mereka. Hal itu jelas sekali menunjukkan, Allah dalam jiwa mereka lebih rendah dari batu-batu berhala.
Kemudian firman Allah:
|
wala-in sa-altahum man khalaqa alssamaawaati waal-ardha layaquulunna allaahu quli alhamdu lillaahi bal aktsaruhum laa ya'lamuuna |
[31:25] Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. |
Jika mereka beri’tikad dengan sebenarnya bahwa Allah itu Maha Pencipta, sedang berhala tidak bisa menciptakan sesuatu, maka pastilah ibadah mereka hanya ditujukan keapda Allah semata, bukan kepada berhala itu. Atu sekurang-kurangnya penghormatan mereka kepada Allah akan lebih tinggi ketimbang penghormatan mereka pada batu-batuan. Hal itu pun jelas sekali menunjukkan, Allah dalam jiwa mereka lebih rendah dari batu-batu berhala.
Ayat lain yang senada adalah sebagai berikut:
|
waja'aluu lillaahi mimmaa dzara-a mina alhartsi waal-an'aami nashiiban faqaaluu haadzaa lillaahi biza'mihim wahaadzaa lisyurakaa-inaa famaa kaana lisyurakaa-ihim falaa yashilu ilaa allaahi wamaa kaana lillaahi fahuwa yashilu ilaa syurakaa-ihim saa-a maa yahkumuuna |
[6:136] Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka508. Amat buruklah ketetapan mereka itu. |
Andaikata Allah tidak lebih rendah dalam pandangan mereka ketimbang batu-batu dan atau berhala, niscaya tidaklah mereka lebih memberatkan nilai-nilai batu di atas nilai-nilai Allah. Sehingga sikap lebih menghargai batu yang diceritakan oleh ayat itu, menjadi penyebab turunnya pernyataan Allah: Sungguh jahat apa yang mereka putuskan.
Peristiwa semacam ini terjadi pula pada Abu Sofyan yang sebelum masuk Islam sering berkata: “Muliakanlah Hubal” (HR Bukhari). Maka mereka memanggil berhala yang bernama Hubal, agar dalam siatuasi kritis itu si batu dapat mengungguli Allah, Pencipta alam, dan agar mengalahkan Allah supaya dia bersama tentaranya menang melawan tentara kaum muslimin yang ingin mengalahkan tuhan-tuhan mereka.
Inilah sikap sebenarnya dari orang-orang musyrik itu terhadap berhala-berhala Allah.
Hendaklah ini dipahami dengan baik, lantaran orang-orang yang kurang memahami, akan terjebak ke dalam situasi dan kondisi yang membuat terciptanya paham yang mengada-ada.
Contoh konkret; Allah telah memberi perintah kepada seluruh ummat Islam untuk menghadap Ka’bah dalam shalat, dan ada banyak orang yang mendirikan shalat dengan menghadap Ka’bah sesuai perintah-Nya dan menjadikannya kiblat.
Namun apabila ternyata ibadah mereka semata-mata hanya untuk ka’bah dan mencium Hajar aswad – bukan ibadah sebagai pengabdian (ubudiyah) kepada Allah dengan mengikuti contoh dari Nabi SAW – atau dengan kata lain hanya berniat beribadah kepada keduanya (Ka’bah dan Hajar Aswad maka syiriklah ia seperti orang yang menyembah patung berhala.
Dengan demikian perantara itu perlu, dan hal ini sama sekali bukanlah syirik. Sehingga setiap orang yang menjadikan bagi dirinya perantara dalam hubungannya dengan Allah tidak dianggap syirik. Lantaran jika tidak demikian pastilah seluruh manusia menjadi musyrik, karena seluruh urusan mereka sebenarnya berdiri di atas perantara.
Nabi Muhammad SAW menerima Quran dengan perantaraan Jibril as. Sedangkan Jibril sendiri adalah perantara bagi Nabi, sementara Nabi Muhammad adalah perantara yang agung bagi para sahabatnya rhum. Mereka berlindung kepada Nabi dalam kesukaran, mengadukan problema mereka kepadanya, dan bertawasul dengannya kepada Allah.
Mereka juga meminta Nabi agar mendoakan mereka. Namun Nabi tidak pernah berkata: “kalian syirik atau kafir! Tidak boleh mengadu kepadaku, tidak boleh kamu meminta kepadaku, tapi pergilah, berdoalah, mohonlah langsung karena Allah itu lebih dekat kepadamu dari aku”.
Tidak. Tidak pernah Rasulullah menjawab begitu, tetapi beliau tetap dan bermohon, padahal mereka pun tahu bahwa yang memberi rezeki hakikatnya hanyalah Allah. Yang Mencegah, memberi rezeki, melapangkan jalan hanya Allah SWT semata.
Adapun Nabi SAW hanya dapat memberi, atas izin dan karunia Allah. Sehingga beliau bersabda (artinya): Aku cuma membagi, yang memberi hanya Allah.
Sampai di sini, maka sudah jelas bahwa tidak ada larangan untuk mensifatkan manusia – orang biasa sekalipun – dengan ungkapan bahwa dia adalah pengusir bencana, penunai hajat, dalam arti ia perantara di situ.
Dan jika untuk orang biasa saja boleh, maka bagaimana pula dengan Nabi yang agung, makhluk termulia, dan penghulu segala ciptaan Tuhan?
TAWASSUL
Saudara saudaraku masih banyak yang memohon penjelasan mengenai tawassul, wahai saudaraku, Allah swt sudah memerintah kita melakukan tawassul, tawassul adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt, Allah swt mengenalkan kita pada Iman dan Islam dengan perantara makhluk Nya, yaitu Nabi Muhammad saw sebagai perantara pertama kita kepada Allah swt, lalu perantara kedua adalah para sahabat, lalu perantara ketiga adalah para tabi’in, demikian berpuluh puluh perantara sampai pada guru kita, yang mengajarkan kita islam, shalat, puasa, zakat dll, barangkali perantara kita adalah ayah ibu kita, namun diatas mereka ada perantara, demikian bersambung hingga Nabi saw, sampailah kepada Allah swt. Allah swt berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah/patuhlah kepada Allah swt dan carilah perantara yang dapat mendekatkan kepada Allah SWT dan berjuanglah di jalan Allah swt, agar kamu mendapatkan keberuntungan” (QS.Al- Maidah-35).
Ayat ini jelas menganjurkan kita untuk mengambil perantara antara kita dengan Allah, dan Rasul saw adalah sebaik baik perantara, dan beliau saw sendiri bersabda :“Barangsiapa yang mendengar adzan lalu menjawab dengan doa : “Wahai Allah Tuhan Pemilik Dakwah yang sempurna ini, dan shalat yang dijalankan ini, berilah Muhammad (saw) hak menjadi perantara dan limpahkan anugerah, dan bangkitkan untuknya Kedudukan yang terpuji sebagaimana yang telah kau janjikan padanya”. Maka halal baginya syafaatku” (Shahih Bukhari hadits no.589 dan hadits no.4442)
Hadits ini jelas bahwa Rasul saw menunjukkan bahwa beliau saw tak melarang tawassul pada beliau saw, bahkan orang yang mendoakan hak tawassul untuk beliau saw sudah dijanjikan syafaat beliau saw. Tawassul ini boleh kepada amal shalih, misalnya doa : “Wahai Allah, demi amal perbuatanku yang saat itu kabulkanlah doaku”, sebagaimana telah teriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam hadits yang panjang menceritakan tiga orang yang terperangkap di goa dan masing masing bertawassul pada amal shalihnya.
Dan boleh juga tawassul pada Nabi saw atau orang lainnya, sebagaimana yang diperbuat oleh Umar bin Khattab ra, bahwa Umar bin Khattab ra shalat istisqa lalu berdoa kepada Allah dengan doa : “wahai Allah.., sungguh kami telah mengambil perantara (bertawassul) pada Mu dengan Nabi kami Muhammad saw agar kau turunkan hujan lalu kau turunkan hujan, maka kini kami mengambil perantara (bertawassul) pada Mu Dengan Paman Nabi Mu (Abbas bin Abdulmuttalib ra) yang melihat beliau sang Nabi saw maka turunkanlah hujan” maka hujanpun turun dengan derasnya. (Shahih Bukhari hadits no.964 dan hadits no.3507).
Riwayat diatas menunjukkan bahwa :
o Para sahabat besar bertawassul pada Nabi saw dan dikabulkan Allah swt.
o Para sahabat besar bertawassul satu sama lain antara mereka dan dikabulkan
o Allah swt.
Para sahabat besar bertawassul pada keluarga Nabi saw (perhatikan ucapan Umar ra : “Dengan Paman nabi” (saw). Kenapa beliau tak ucapkan namanya saja?, misalnya Demi Abbas bin Abdulmuttalib ra, namun justru beliau tak mengucapkan nama, tapi mengucapkan sebutan “Paman Nabi” dalam doanya kepada Allah, dan Allah mengabulkan doanya, menunjukkan bahwa Tawassul pada keluarga Nabi saw adalah perbuatan Sahabat besar, dan dikabulkan Allah.
o Para sahabat besar bertawassul pada kemuliaan sahabatnya yang melihat Rasul saw, perhatikan ucapan Umar bin Khattab ra : “dengan pamannya yang melihatnya” (dengan paman nabi saw yang melihat Nabi saw) jelaslah bahwa melihat Rasul saw mempunyai kemuliaan tersendiri disisi Umar bin Khattab ra hingga beliau menyebutnya dalam doanya, maka melihat Rasul saw adalah kemuliaan yang ditawassuli Umar ra dan dikabulkan Allah.
Dan boleh tawassul pada benda, sebagaimana Rasulullah saw bertawassul pada tanah dan air liur sebagian muslimin untuk kesembuhan, sebagaimana doa beliau saw ketika ada yang sakit : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413, dan Shahih Muslim hadits no.2194), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa beliau saw bertawassul dengan air liur mukminin yang dengan itu dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, juga beliau bertawassul pada tanah, menunjukkan diperbolehkannya bertawassul pada benda mati atau apa saja karena semuanya mengandung kemuliaan Allah swt, seluruh alam ini menyimpan kekuatan Allah dan seluruh alam ini berasal dari cahaya Allah swt.
Riwayat lain ketika datangnya seorang buta pada Rasul saw, seraya mengadukan kebutaannya dan minta didoakan agar sembuh, maka Rasul saw menyarankannya agar bersabar, namun orang ini tetap meminta agar Rasul saw berdoa untuk kesembuhannya, maka Rasul saw memerintahkannya untuk berwudhu, lalu shalat dua rakaat, lalu Rasul saw mengajarkan doa ini padanya, ucapkanlah : “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (Shahih Ibn Khuzaimah hadits no.1219, Mustadrak ala shahihain hadits no.1180 dan ia berkata hadits ini shahih dengan syarat shahihain Imam Bukhari dan Muslim). Hadits diatas ini jelas jelas Rasul saw mengajarkan orang buta ini agar berdoa dengan doa tersebut, Rasul saw yang mengajarkan padanya, bukan orang buta itu yang membuat buat doa ini, tapi Rasul saw yang mengajarkannya agar berdoa dengan doa itu, sebagaimana juga Rasul saw mengajarkan ummatnya bershalawat padanya, bersalam padanya. Lalu muncullah pendapat saudara saudara kita, bahwa tawassul hanya boleh pada Nabi saw, pendapat ini tentunya keliru, karena Umar bin Khattab ra bertawassul pada Abbas bin Abdulmuttalib ra. Sebagaimana riwayat Shahih Bukhari diatas, bahkan Rasul saw bertawassul pada tanah dan air liur. Adapula pendapat mengatakan tawassul hanya boleh pada yang hidup, pendapat ini ditentang dengan riwayat shahih berikut : “telah datang kepada utsman bin hanif ra seorang yang mengadukan bahwa Utsman bin Affan ra tak memperhatikan kebutuhannya, maka berkatalah Utsman bin Hanif ra : “berwudulah, lalu shalat lah dua rakaat di masjid, lalu berdoalah dengan doa : “: “Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, Demi Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap demi dirimu (Muhammad saw), kepada Tuhanku dalam hajatku ini, maka kau kabulkan hajatku, wahai Allah jadikanlah ia memberi syafaat hajatku untukku” (doa yang sama dengan riwayat diatas)”, nanti selepas kau lakukan itu maka ikutlah dengan ku kesuatu tempat. Maka orang itupun melakukannya lalu utsman bin hanif ra mengajaknya keluar masjid dan menuju rumah Utsman bin Affan ra, lalu orang itu masuk dan sebelum ia berkata apa apa Utsman bin Affan lebih dulu bertanya padanya : “apa hajatmu?”, orang itu menyebutkan hajatnya maka Utsman bin Affan ra memberinya. Dan orang itu keluar menemui Ustman bin Hanif ra dan berkata : “kau bicara apa pada utsman bin affan sampai ia segera mengabulkan hajatku ya..?”, maka berkata Utsman bin hanif ra : “aku tak bicara apa2 pada Utsman bin Affan ra tentangmu, Cuma aku menyaksikan Rasul saw mengajarkan doa itu pada orang buta dan sembuh”. (Majmu’ zawaid Juz 2 hal 279).
Tentunya doa ini dibaca setela wafatnya Rasul saw, dan itu diajarkan oleh Utsman bin hanif dan dikabulkan Allah. Ucapan : Wahai Muhammad.. dalam doa tawassul itu banyak dipungkiri oleh sebagian saudara saudara kita, mereka berkata kenapa memanggil orang yang sudah mati?, kita menjawabnya : sungguh kita setiap shalat mengucapkan salam pada Nabi saw yang telah wafat : Assalamu alaika ayyuhannabiyyu… (Salam sejahtera atasmu wahai nabi……), dan nabi saw menjawabnya, sebagaimana sabda beliau saw : “tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Sunan Imam Baihaqiy Alkubra hadits no.10.050)
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan oleh Rasulullah saw, tak pula oleh ijma para Sahabat Radhiyallahu’anhum, tak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para ulama serta imam-imam besar Muhadditsin, bahkan Allah memerintahkannya, Rasul saw mengajarkannya, sahabat radhiyallahu’anhum mengamalkannya. Mereka berdoa dengan perantara atau tanpa perantara, tak ada yang mempermasalahkannya apalagi menentangnya bahkan mengharamkannya atau bahkan memusyrikan orang yang mengamalkannya. Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian, justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah?, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah?, Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah swt. Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah swt dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah swt.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah swt atas orang yang mati adalah kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah SWT. Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat. Sebagai contoh dari bertawassul, seorang pengemis datang pada seorang saudagar kaya dan dermawan, kebetulan almarhumah istri saudagar itu adalah tetangganya, lalu saat ia mengemis pada saudagar itu ia berkata “Berilah hajat saya tuan …saya adalah tetangga dekat amarhumah istri tuan…” maka tentunya si saudagar akan memberi lebih pada si pengemis karena ia tetangga mendiang istrinya, Nah… bukankah hal ini mengambil manfaat dari orang yang telah mati? Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan orang mati tak bisa memberi manfaat?, Jelas-jelas saudagar itu akan sangat menghormati atau mengabulkan hajat si pengemis, atau memberinya uang lebih, karena ia menyebut nama orang yang ia cintai walau sudah wafat.
Walaupun seandainya ia tak memberi, namun harapan untuk dikabulkan akan lebih besar, lalu bagaimana dengan Arrahman Arrahiim, yang maha pemurah dan maha penyantun?, istri saudagar yang telah wafat itu tak bangkit dari kubur dan tak tahu menahu tentang urusan hajat sipengemis pada si saudagar, NAMUN TENTUNYA SI PENGEMIS MENDAPAT MANFAAT BESAR DARI ORANG YANG TELAH WAFAT, entah apa yang membuat pemikiran saudara saudara kita menyempit hingga tak mampu mengambil permisalan mudah seperti ini.
Saudara saudaraku, boleh berdoa dengan tanpa perantara, boleh berdoa dengan perantara, boleh berdoa dengan perantara orang shalih, boleh berdoa dengan perantara amal kita yang shalih, boleh berdoa dengan perantara nabi saw, boleh pada shalihin, boleh pada benda, misalnya “Wahai Allah Demi kemuliaan Ka’bah”, atau “Wahai Allah Demi kemuliaan Arafat”, dlsb, tak ada larangan mengenai ini dari Allah, tidak pula dari Rasul saw, tidak pula dari sahabat, tidak pula dari Tabi’in, tidak pula dari Imam Imam dan muhadditsin, bahkan sebaliknya Allah menganjurkannya, Rasul saw mengajarkannya, Sahabat mengamalkannya, demikian hingga kini.
Walillahittaufiq
TABARRUK - Mengambil Keberkahan Dari Bekas atau Tubuh Shalihin
Banyak orang yang keliru memahami makna hakikat tabarruk dengan Nabi Muhammad saw, peninggalan-peninggalannya saw, dan para pewarisnya yakni para ulama, para kyai dan para wali dan shalihin. Karena hakekat yang belum mereka pahami, mereka berani menilai kafir (sesat) atau musyrik terhadap mereka yang bertabarruk pada Nabi saw atau ulama.
Mengenai azimat (Ruqyyat) dengan huruf arab merupakan hal yang diperbolehkan, selama itu tidak menduakan Allah swt. Sebagaimana dijelaskan bahwa azimat dengan tulisan ayat atau doa disebutkan pada kitab Faidhulqadir Juz 3 hal 192, dan Tafsir Imam Qurtubi Juz 10 hal.316/317, dan masih banyak lagi penjelasan para Muhadditsin mengenai diperbolehkannya hal tersebut, karena itu semata mata adalah bertabarruk (mengambil berkah) dari ayat ayat Alqur’an.
Mengenai benda-benda keramat, maka ini perlu penjelasan yang sejelas jelasnya, bahwa benda benda keramat itu tak bisa membawa manfaat atau mudharrat, namun mungkin saja digunakan Tabarrukan (mengambil berkah) dari pemiliknya dahulu, misalnya ia seorang yang shalih, maka sebagaimana diriwayatkan :
o Para sahabat seakan akan hampir saling berkelahi saat berdesakan berebutan air bekas wudhunya Rasulullah saw (Shahih Bukhari Hadits no. 186),
o Allah swt menjelaskan bahwa ketika Ya’qub as dalam keadaan buta, lalu dilemparkanlah ke wajahnya pakaian Yusuf as, maka iapun melihat, sebagaimana Allah menceritakannya dalam firman Nya SWT :
“(Berkata Yusuf as pada kakak kakaknya) PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA” (QS Yusuf 93), dan pula ayat : “MAKA KETIKA DATANG PADANYA KABAR GEMBIRA ITU, DAN DILEMPARKAN PADA WAJAHNYA (pakaian Yusuf as) MAKA IA (Ya’qub as) SEMBUH DARI KEBUTAANNYA” (QS Yusuf 96). Ini merupakan dalil Alqur’an, bahwa benda/pakaian orang orang shalih dapat menjadi perantara kesembuhan dengan izin Allah tentunya, kita bertanya mengapa Allah sebutkan ayat sedemikian jelasnya?, apa perlunya menyebutkan sorban yusuf dengan ucapannya : “PERGILAH KALIAN DENGAN BAJUKU INI, LALU LEMPARKAN KEWAJAH AYAHKU, MAKA IA AKAN SEMBUH DARI BUTANYA” .
Untuk apa disebutkan masalah baju yang dilemparkan kewajah ayahnya?, agar kita memahami bahwa Allah SWT memuliakan benda benda yang pernah bersentuhan dengan tubuh hamba hamba Nya yang shalih. kita akan lihat dalil dalil lainnya.
o Setelah Rasul saw wafat maka Asma binti Abubakar shiddiq ra menjadikan baju beliau saw sebagai pengobatan, bila ada yang sakit maka ia mencelupkan baju Rasul saw itu di air lalu air itu diminumkan pada yang sakit (shahih Muslim hadits no.2069).
o Rasul saw sendiri menjadikan air liur orang mukmin sebagai berkah untuk pengobatan, sebagaimana sabda beliau : “Dengan Nama Allah atas tanah bumi kami, demi air liur sebagian dari kami, sembuhlah yang sakit pada kami, dengan izin tuhan kami” (shahih Bukhari hadits no.5413), ucapan beliau saw : “demi air liur sebagian dari kami” menunjukkan bahwa air liur orang mukmin dapat menyembuhkan penyakit, dengan izin Allah swt tentunya, sebagaimana dokter pun dapat menyembuhkan, namun dengan izin Allah pula tentunya, hadits ini menjelaskan bahwa rasul saw bertabarruk dengan air liur mukminin bahkan tanah bumi, menunjukkan bahwa pada hakikatnya seluruh ala mini membawa keberkahan dari Allah swt.
o Seorang sahabat meminta Rasul saw shalat dirumahnya agar kemudian ia akan menjadikan bekas tempat shalat beliau saw itu mushollah dirumahnya, maka Rasul saw datang kerumah orang itu dan bertanya : “dimana tempat yang kau inginkan aku shalat?”. Demikian para sahabat bertabarruk dengan bekas tempat shalatnya Rasul saw hingga dijadikan musholla (Shahih Bukhari hadits no.1130)
o Nabi Musa as ketika akan wafat ia meminta didekatkan ke wilayah suci di palestina, menunjukkan bahwa Musa as ingin dimakamkan dengan mengambil berkah pada tempat suci (shahih Bukhari hadits no.1274). Allah memuji Nabi saw dan Umar bin Khattab ra yang menjadikan Maqam Ibrahim as (bukan makamnya, tetapi tempat ibrahim as berdiri dan berdoa di depan ka’bah yang dinamakan Maqam Ibrahim as) sebagai tempat shalat (musholla), sebagaimana firman Nya : “Dan jadikanlah tempat berdoanya Ibrahim sebagai tempat shalat” (QS Al Imran 97), maka jelaslah bahwa Allah swt memuliakan tempat hamba hamba Nya berdoa, bahkan Rasul saw pun bertabarruk dengan tempat berdoanya Ibrahim as, dan Allah memuji perbuatan itu.
o Diriwayatkan ketika Rasul saw barusaja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul saw, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata : “aku memintanya karena mengharapkan keberkahannya ketika dipakai oleh Nabi saw dan kuinginkan untuk kafanku nanti” (Shahih Bukhari hadits no.5689), demikian cintanya para sahabat pada Nabinya saw, sampai kain kafanpun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad saw.
o Sayyidina Umar bin Khattab ra ketika ia telah dihadapan sakratulmaut, Yaitu sebuah serangan pedang yang merobek perutnya dengan luka yang sangat lebar, beliau tersungkur roboh dan mulai tersengal sengal beliau berkata kepada putranya (Abdullah bin Umar ra), "Pergilah pada ummulmukminin, katakan padanya aku berkirim salam hormat padanya, dan kalau diperbolehkan aku ingin dimakamkan disebelah Makam Rasul saw dan Abubakar ra", maka ketika Ummulmukminin telah mengizinkannya maka berkatalah Umar ra : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu” (dimakamkan disamping makam Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits no.1328). Dihadapan Umar bin Khattab ra Kuburan Nabi saw mempunyai arti yang sangat Agung, hingga kuburannya pun ingin disebelah kuburan Nabi saw, bahkan ia berkata : "Tidak ada yang lebih kupentingkan daripada mendapat tempat di pembaringan itu”
o Demikian pula Abubakar shiddiq ra, yang saat Rasul saw wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi saw lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi tubuh beliau saw dan berkata : “Demi ayahku, dan engkau dan ibuku wahai Rasulullah.., Tiada akan Allah jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan Allah untukmu kini telah kau lewati”. (Shahih Bukhari hadits no.1184, 4187).
o Salim bin Abdullah ra melakukan shalat sunnah di pinggir sebuah jalan, maka ketika ditanya ia berkata bahwa ayahku shalat sunnah ditempat ini, dan berkata ayahku bahwa Rasulullah saw shalat di tempat ini, dan dikatakan bahwa Ibn Umar ra pun melakukannya. (Shahih Bukhari hadits no.469). Demikianlah keadaan para sahabat Rasul saw, bagi mereka tempat-tempat yang pernah disentuh oleh Tubuh Muhammad saw tetap mulia walau telah diinjak ribuan kaki, mereka mencari keberkahan dengan shalat pula ditempat itu, demikian pengagungan mereka terhadap sang Nabi saw.
o Dalam riwayat lainnnya dikatakan kepada Abu Muslim, wahai Abu Muslim, kulihat engkau selalu memaksakan shalat ditempat itu?, maka Abu Muslim ra berkata : Kulihat Rasul saw shalat ditempat ini” (Shahih Bukhari hadits no.480).
o Sebagaimana riwayat Sa’ib ra, : "aku diajak oleh bibiku kepada Rasul saw, seraya berkata : Wahai Rasulullah.., keponakanku sakit.., maka Rasul saw mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan padaku, lalu beliau berwudhu, lalu aku meminum air dari bekas wudhu beliau saw, lalu aku berdiri dibelakang beliau dan kulihat Tanda Kenabian beliau saw" (Shahih Muslim hadits no.2345).
o Riwayat lain ketika dikatakan pada Ubaidah ra bahwa kami memiliki rambut Rasul saw, maka ia berkata: “Kalau aku memiliki sehelai rambut beliau saw, maka itu lebih berharga bagiku dari dunia dan segala isinya” (Shahih Bukhari hadits no.168). demikianlah mulianya sehelai rambut Nabi saw dimata sahabat, lebih agung dari dunia dan segala isinya.
o Diriwayatkan oleh Abi Jahiifah dari ayahnya, bahwa para sahabat berebutan air bekas wudhu Rasul saw dan mengusap2kannya ke wajah dan kedua tangan mereka, dan mereka yang tak mendapatkannya maka mereka mengusap dari basahan tubuh sahabat lainnya yang sudah terkena bekas air wudhu Rasul saw lalu mengusapkan ke wajah dan tangan mereka” (Shahih Bukhari hadits no.369, demikian juga pada Shahih Bukhari hadits no.5521, dan pada Shahih Muslim hadits no.503 dengan riwayat yang banyak).
o Diriwayatkan ketika Anas bin malik ra dalam detik detik sakratulmaut ia yang memang telah menyimpan sebuah botol berisi keringat Rasul saw dan beberapa helai rambut Rasul saw, maka ketika ia hampir wafat ia berwasiat agar botol itu disertakan bersamanya dalam kafan dan hanut nya (shahih Bukhari hadits no.5925)
Tampaknya kalau mereka ini hidup di zaman sekarang, tentulah para sahabat ini sudah dikatakan musyrik, tentu Abubakar sudah dikatakan musyrik karena menangis dan memeluk tubuh Rasul saw dan berbicara pada jenazah beliau saw Tentunya umar bin khattab sudah dikatakan musyrik karena disakratulmaut bukan ingat Allah malah ingat kuburan Nabi saw Tentunya para sahabat sudah dikatakan musyrik dan halal darahnya, karena mengkultuskan Nabi Muhammad saw dan menganggapnya tuhan sembahan hingga berebutan air bekas wudhunya, mirip dengan kaum nasrani yang berebutan air pastor Nah.. kita boleh menimbang diri kita, apakah kita sejalan dengan sahabat atau kita sejalan dengan generasi sempalan. Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini ada tuhan yang sama dengan Allah swt. Inilah makna syirik. Sebagimana sabda Nabi saw : “Keberkahan adalah pada orang orang tua dan ulama kalian” (Shahih Ibn Hibban hadits no.559)
Dikatakan oleh Al hafidh Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy menanggapi hadits yang diriwayatkan dalam shahih muslim bahw Rasul saw membaca mu’awwidzatain lalu meniupkannya ke kedua telapak tangannya, lalu mengusapkannya ke sekujur tubuh yang dapat disentuhnya, hal itu adalah tabarruk dengan nafas dan air liur yang telah dilewati bacaan Alqur’an, sebagaimana tulisan dzikir dzikir yang ditulis dibejana (untuk obat). (Al Jami’usshaghiir Imam Assuyuthiy Juz 1 hal 84 hadits no.104)
Telah dibuktikan pula secara ilmiah oleh salah seorang Profesor Jepang, bahwa air itu berubah wujud bentuknya dengan hanya diucapkan padanya kalimat kalimat tertentu, bila ucapan itu berupa cinta, terimakasih dan ucapan ucapan indah lainnya maka air itu berubah wujudnya menjadi semakin indah, bila diperdengarkan ucapan cacian dan buruk maka air itu berubah menjadi buruk wujud bentuknya, dan bila dituliskan padanya tulisan mulia dan indah seperti terimakasih, syair cinta dan tulisan indah lainnya maka ia menjadi semakin indah wujudnya, bila dituliskan padanya ucapan caci maki dan ucapan buruk lainnya maka ia berubah buruk wujudnya, kesimpulannya bahwa air itu berubah dengan perubahan emosi orang yang didekatnya, apakah berupa tulisan dan perkataan.
Keajaiban alamiah yang baru diketahui masa kini, sedangkan Rasul saw dan para sahabat telah memahaminya, mereka bertabarruk dengan air yang menyentuh tubuh Rasul saw, mereka bertabarruk dengan air doa yang didoakan oleh Rasul saw, maka hanya mereka mereka kaum muslimin yang rendah pemahamannya dalam syariah inilah yang masih terus menentangnya padahal telah dibuktikan secara dalil shahih dan pula pembuktian ilmiah, menunjukkan pemahaman mereka itulah yang jumud dan terbelakang.
Walillahittaufiq
Cerita tentang
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin –ulama Wahhabi kontemporer yang sangat populer-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi , yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa'di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa'di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa'di, termasuk ulama Wahhabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid 'Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin 'Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan thawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka'bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka'bah itu, "Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik."
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halqah al-Imam al-Sayyid 'Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu. Ternyata Sayyid 'Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka'bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu, "Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid 'Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini."
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa'di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid 'Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa'di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid 'Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tatakrama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa'di bertanya kepada Sayyid 'Alwi: "Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka'bah itu ada berkahnya?" Sayyid 'Alwi menjawab: "Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah." Syaikh Ibnu Sa'di berkata: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Sayyid 'Alwi menjawab: "Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا وَنَزَّلْنَا مِنَ
"Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah." (QS. 50:9).
Allah SWT juga berfirman mengenai Ka'bah:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
"Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah)." (QS. 3:96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka'bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini." Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di merasa heran dan kagum kepada Sayyid 'Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa'di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid 'Alwi: "Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini." Kemudian Syaikh Ibnu Sa'di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid 'Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid 'Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa'di: "Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa'di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka'bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka'bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain." Akhirnya mendengar saran Sayyidn 'Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa'di segera bangkit menuju saluran air di Ka'bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa'di ini, para polisi baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam 'Alwi bin 'Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Bisa pula dilihat dalam http://www.azahera.net/showthread.php?t=2408
wahai...., mengapa sesama muslim harus saling menghujat. menyalahkan, dan menganggap golongan sendiri yang benar. bukankah mukmin bersaudara...??? bukan nabi pernah bersabda, belum sempurna hingga ia mencintai saudaranya seiman seperti dirinya sendiri.
BalasHapus