Masyarakat pada umumnya memiliki kecenderungan, sasaran, dan kepentingan hidup yang berbeda-beda. Demikian halnya dengan tujuan yang ingin mereka capai di dunia ini. Di antara mereka ada yang memandang kesejahteraan, kesenangan, dan aksesori materi sebagai idaman dan harapan tertinggi serta cita-cita terakhirnya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah swt:
Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran, 3:14)
Ada pula yang memandang hidangan makan dan minum sebagai tujuan hidup yang ingin dicapainya. Allah menjelaskan golongan ini dalam firman-Nya,
Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (d dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (Muhammad:12)
Ada pula yang menyimpang dari garis fitrah. Mereka tidak memiliki pertimbangan benar atau salah. Kebaikan telah hancur dalam diri mereka, sehingga mereka lebih banyak berbuat kerusakan daripada kebaikan. Mereka menjadikan kejahatan dan membuat kekacauan di tengah masyarakat sebagai tujuan dan sasaran:
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan. (Al-Baqarah, 2:204-205)
Ada pula golongan orang yang bersikap pasif. Mereka tidak peduli dengan dinamika kehidupan masyarakat dan segala bentuk interaksi. Berkomuniaksi dengan orang lain dianggap tidak penting. Mereka melangkah ke sana kemari tanpa tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Rutinitas hidupnya berjalan seperti itu. Hari demi hari dan tahun demi tahun sampai nafasnya terhenti dan ajal menjemputnya.
Adapun sikap seorang muslim berbeda dengan mereka. Seorang muslim mengetahui tujuan hidupnya:
Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzariyat:56)
Dia mengerti jalan hidupnya:
Katakanlah: ‘Inilah jalanku. Maksudnya, Inilah jalanku, thariqohku. (Yusuf, 12:108)
Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak ke (jalan) Allah dengan kebenaran yang nyata’.. (Yusuf, 12:108)
Dia mengerti peran dan kewajiban yang harus diembannya:
Hai orang-orang yang beriman rukulah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan supaya mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam Al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-beaik pelindung dan sebaik-baik penolong. (Al-Hajj, 77-78)
Itulah peran dan keniscayaan yang akan dilakukan oleh mereka yang mengetahui tujuan hidup yang sebenarnya. Menyembah Allah, menebarkan kebajikan dan berjuang. Diantara semua hamba Allah, maka Rasulullah-lah yang paling utama dan paling mengerti tujuan, jalan, peran dan kewajibannya. Beliaulah yang telah paling dahulu datang dan berjuang untuk menyampaikan risalah, menyampaikan Islam, menyampaikan jalan Allah kepada kita. Memperingatkan kita. Beliau dahulu mengikatkan batu di perut beliau karena lapar dalam perjuangannya. Selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan petunjuk. Tak tidur di malam hari menangis memikirkan nasib kita. Mendoakan kita. Beliau dilempari batu hingga mengalir darah dari tumitnya yang mulia. Namun apa yang beliau katakan, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu,” kemudian beliau melanjutkan, “Aku berharap dari sulbi-sulbi mereka lahir manusia-manusia yang akan mengurus perkara ini (agama). Menyambut kasih sayang dengan kasih sayang.”
Maha Suci Allah Tuhan Maha Pemurah yang dalam kitab suci Al-Quran al-Hakim mengungkapkan berita gembira dengan firman-Nya:
“Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, ia selalu prihatin atas apa yang menimpamu sangat ia inginkan kamu beriman ia sangat penyantun sangat penyayang.”
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dalam simtudduror berkata:
Adapun Nabi SAW setelah kepadanya wahyu suci diturunkan, segera bertindak memikul beban dakwah dan tabligh, menyeru manusia ke JALAN ALLAH dengan penuh kesadaran; Yang diikuti dengan tulus dan patuh oleh mereka yang berpikiran terang di antara kaum Muhajirin dan Anshor yang beroleh kehormatan tertinggi mendahului yang lain memenuhi seruan ini, sesuai yang tercantum dalam takdir Ilahi.
Dan dengan tekad kuat Nabi tercinta ini demikian pula para sahabatnya, Allah berkenan menyempurnakan agama ini, dan dengan kepahlawanan mereka pula Allah menumpas habis kaum kafir dan ingkar.
Setelah Rasulullah saw, datanglah para pewaris beliau yang mulia, pemangku sir beliau yang terjaga. Mereka adalah orang-orang yang telah dipilih Allah sebagai pemberi petunjuk kepada makhluk yang kebingungan. Merekalah para keluarga dan sahabat Nabi SAW, tabi’in, tabi’it tabi’in serta para kaum sholihin yang mengikuti mereka dengan baik. Maka perhatikanlah bagaimana ibadah mereka, bagaimana mereka menyebarkan kebajikan di tengah umat, bagaimana mereka berjuang dan menanggung derita, menjual harta mereka untuk Allah, menjual diri mereka untuk Allah.
Sesungguhnya Allah telah memilih dari sekelompok manusia rasul-rasul, kemudian memberi mereka sahabat, merekalah sebaik-baik sahabat. Allah menjadikan Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik rasul, maka sahabat beliau pun adalah sahabat terbaik dari semua sahabat para rasul. Allah memberi para rasul keluarga, merekalah sebaik-baik keluarga. Allah menjadikan Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik rasul,maka keluarga beliau pun adalah keluarga yang paling baik dari seluruh keluarga para rasul. Allah memberi para rasul umat, dan Allah menjadikan umat Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik umat dari seluruh umat para rasul.
Para nabi, sahabat, keluarga dan umat mereka tidak akan melewati shirath sebelum Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan umat beliau SAW melewatinya. Umat terdahulu yang paling mulia kedudukannya baru akan melewati shirath setelah orang terakhir dari umat kita. Semua ini untuk memuliakan Rasulullah SAW, meninggikan Rasulullah SAW, mengagungkan Rasulullah SAW. Karena itu jangan sia-siakan hubungan kita dengan beliau SAW. Bagaimanakah mengokohkan jalinan dengan baginda Nabi SAW? Caranya: janganlah kalian menyia-nyiakan persahabatan dengan orang-orang mulia (kaum sholihin), yaitu orang-orang yang cahayanya berkilauan. Demi Allah, memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian, bagaimana sifat kerugian tersebut jika pemimpin mereka (Rasulullah) bersabda, “Celakalah orang yang pada hari kiamat tidak melihatku.”
Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tak akan bisa melihat beliau. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang beliau. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan beliau. Karena kaum sholihin adalah bagian dari beliau, pewarisnya, para khalifahnya, pemegang sirnya.
Merekalah pemegang sir setelah nabi.
Merekalah pewaris, semulia-mulia pewarisnya.
Bagaimanakah sifat-sifat mereka? Sesungguhnya ketika membicarakan mereka di atas maka sesungguhnya kita sedang membicarakan jalan-Nya, jalan Quran dan sunah pemimpin alam. Merekalah Quran, merekalah sunah, merekalah petunjuk, merekalah nubuwwah, merekalah asror nubuwwah (rahasia-rahasia kenabian), merekalah khalifah-khalifah nabi, merekalah pejuang-pejuang Islam, merekalah hakikat pemahaman Allah, merekalah keajaiban-keajaiban rahmat Allah, merekalah hadian Allah untuk alam.
Perhatikanlah, perhatikan! Perhatikanlah bagaimana mereka berjuang demi tegaknya jalan ini. Sayidina Abubakar As-Shiddiq RA., ia telah datang dan berjuang. Ia memiliki 9 toko di Mekah. Toko itu satu demi satu tutup karena besarnya infak yang ia keluarkan di jalan Allah. Pada saat hijrah, ketika kendaraan telah siap, ia sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Ia menggunakan duri pohon kurma untuk menjahit bajunya yang usang, karena tidak memiliki jarum. Bahkan jarum pun ia tidak punya! Menetes air mata Rasulullah SAW melihatnya berjalan mengenakan pakaian usang yang baru dijahitnya.
Beberapa hari sebelum wafat, Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya orang yang paling ku percaya harta dan dirinya adalah Abubakar, andaikata aku hendak menjadikan seseorang sebagai teman dekat, tentu aku akan memilih Abubakar sebagai sahabat karibku.”
Semoga Allah meridhoi mereka semua.
Perhatikanlah para shiddiqin, mereka telah menempuh dan berjuang di jalan ini. Perhatikanlah perjuangan Sayidina Ja’far bin Abi Thalib, ketika tangan kanannya putus, ia genggam bendera perang di tangan kirinya. Ketika tangan kirinya putus, ia rangkul bendera itu dengan kedua lengannya. Ia tidak rela bendera Sayidina Muhammad SAW jatuh. Ia terluka dengan delapan puluh tusukan di bagian depan tubuhnya. Semua luka itu ada di bagian depan tubuhnya. Mengapa? Karena beliau maju terus pantang mundur. Semoga Allah meridhoinya.
Para sahabat memikul tubuhnya yang penuh luka itu.
“Minumlah air ini,” kata seorang sahabat.
“Aku puasa,” jawabnya lemah.
Padahal saat itu cuaca sangat panas, di medan jihad, dalam kancah peperangan.
“Berbukalah hari ini dan berpuasalah di hari lain, lukamu sangat parah,” bujuk sahabat-sahabatnya.
“Aku ingin berbuka di surga.”
Dan beliau pun akhirnya berbuka di surga.
Sayidina Muhammad SAW yang saat itu sedang duduk bersama para sahabat di Madinah tiba-tiba menengadahkan wajahnya ke langit dan menjawab salam: “Wa ‘alaikas salam wa rahmatullahi wabarakaatuh (Semoga Allah juga meimpahkan keselamatan, rahmat, dan berkah-Nya kepadamu)”
Beliau kemudian terlibat dalam pembicaraan. Para sahabat yang menyaksikan peristiwa itu terdiam, menundukkan kepala. Salah seorang dari mereka kemudian bertanya, “YA Rasulullah, siapakah yang engkau ajak bicara?”
“Ja’far bin Abi Thalib datang mengunjungiku bersama jutaan malaikat. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua buah sayap. Ia dapat terbang ke mana pun ia suka di surga,” jawab Nabi.
Perhatikanlah, Allah telah memerintahkan malaikat untuk mengawalnya ke surga, namun ia merindukan Nabinya. Ia ingin menemuinya lebih dahulu. Surga dan segala kenikmatannya tidak melalaikannya dari Nabi kecintaannya.
“Aku ingin mengucapkan salam kepada kekasihku, aku ingin berada dekat dengan nabiku, aku ingin melihat rasul-Mu yang melaluinya aku memperoleh hidayah,” kata Ja’far.
Ruhnya datang ke Madinah mengunjungi Nabi dan mengucapkan salam kepada beliau. Sebab, memandang wajah Nabi SAW dapat membuat hatinya menjadi tentram. Semoga Allah memperlihatkan wajah beliau kepada kita. Memperlihatkan wajah kaum sholihin kepada kita, memasukkan kita ke dalam golongan mereka.
Para ulama sepakat bahwa merekalah sebaik-baik manusia setelah para nabi. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada zamanku...” (HR Bukhari Dan Muslim)
Para sahabat Nabi Musa as yang ikut menyeberangi lautan tak akan bisa menandingi kedudukan para sahabat Rasulullah SAW. Demi Allah, sahabat Nabi Musa yang keimanan mereka mendapat pujian dalam Quran tak akan bisa mendahului barisan sahabat Nabi Muhammad SAW! Bahkan ketika umat Nabi Muhammad SAW satu persatu, kelompok-demi kelompok melewati jembatan (shirath), umat-umat yang terdahulu berkata, “Mereka seakan-akan para nabi.”
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, syaikhuna berkata:
Betapa agung keutamaan yang diperoleh para sahabat. Mereka menduduki tingkat shiddiqiyyah. Tiada kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan shiddiqiyyah, kecuali nubuwwah (kenabian). Kebaikan tersebut datang kepada mereka silih berganti, inayah Allah menyertai mereka.
Seorang sahabat dapat melampaui seratus ribu maqam dalam sesaat. Derajat mereka lebih tinggi daripada orang yang melihat Nabi SAW setelah beliau wafat. Sebab, para sahabat melihat Nabi dalam rupa yang sempurna. Sedangkan para wali maksimal melihat Nabi di alam lain. Para sahabat meraih kedudukan itu tanpa usaha yang berarti. Pagi hari mereka masih kafir, masuk waktu ashar mereka telah mencapai derajat shiddiqiyyah.
Wahai ibn Lasbaath, banjir membasahi tanah berdebu
Waktu dhuha berlalu, sore hari telah hijau semua
Perhatikanlah bagaimana para mujahid dan mujahidah sebelum kita berjuang demi menanggung derita dan tertegaknya agama Allah. Lalu, kita yang datang setelah mereka, apa yang telah kita perbuat? Sedangkan mereka, baik yang terdahulu maupun yang datang kemudian telah menjual harta mereka untuk Allah, menjual diri mereka untuk Allah. Perhatikanlah, Sayidah Khodijah binti Khuwailid RA, tanyakan kepadanya apa yang telah diperbuat? Apa yang telah ia lakukan?
Rasulullah pemimpin alam ini berkata, “Ia beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, ia membenarkanku di saat mereka mendustakanku, dan ia telah menebusku dengan diri dan hartanya.” Semoga Allah meridhoinya.
Karena inilah, ia berhak menerima ucapan salam dari Allah.
Demikianlah sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw kemudian secara terinci dicontohkan oleh keluarga beliau, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sejarah mereka merupakan model terbaik bagi kita untuk merumuskan manhaj dakwah dan perjuangan untuk meninggikan kalimat Allah. Juga merupakan sumber pengetahuan yang dapat memperkokoh iman dan menumbuhkan semangat beragama. Kita pun telah menyaksikan bahwa gerakan dakwah yang dijiwai iman dan sikap shidq membuat mereka merasa ringan untuk mengorbankan nyawanya, mendermakan hartanya, mengorbankan keluarganya, menanggung segala derita, dan melakukan perjalanan dakwah ke barat dan ke timur, dataran tinggi dan rendah. Mereka rela melupakan berbagai kenikmatan , meninggalkan kesenangan dan kampung halaman, serta rela mengorbankan jiwa dan hartanya agar rasa yaqin dapat bersemi di hati, menguasai nafs dan akal, agar hati mau menghadap kepada Allah, agar angin iman yang penuh berkah bertiup kencang, agar pemerintahan tauhid, iman, ibadah dan takwa terselenggara, agar hidayah tersebar ke seluruh penjuru alam dan manusia berbondong-bondong memeluk Islam. Saat ini pun kita masih dapat merasakan atsar perjuangan mereka. Namun, sekarang ini –sebagaimana diungkapkan oleh seorang ulama (1931) – Islam bukan saja dihancurkan oleh kaum kuffar, tetapi juga sedang dihancurkan oleh kita sendiri. Amalan-amalan yang fardhu maupun yang sunnah bukan saja ditinggalkan oleh umat Islam yang masih awam, tetapi ditinggalkan juga oleh mereka yang memegang peranan penting dalam Islam. Kita sering berbicara mengenai orang-orang yang meninggalkan shalat dan puasa, padahal berjuta-juta orang telah jatuh ke jurang kemusyrikan dan kekufuran; yang lebih parah lagi, mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka telah jatuh ke lembah kemusyrikan dan kekufuran. Hal-hal yang haram, kefasikan dan kejahatan dengan terang-terangan telah meningkat dengan cepat, tidak ada lagi yang tersembunyi di hadapan kita. Sikap acuh tak acuh terhadap agama, menghina dan meremehkan agama sudah menjadi kebiasaan pada zaman ini.
Demikianlah kondisi umat Islam di zaman beliau hidup lantas bagaimana dengan saat ini, tentunya kondisi umat Islam saat ini jauh lebih mengenaskan. Karena itulah umat ini butuh kepada orang-orang yang benar dan dapat dipercaya untuk agama ini, yang dapat mengambalikan kemuliaan umat Islam, membangkitkan semangat mereka, mempersatukan perpecahan, mengibarkan bendera Islam, memperbaiki umat, melenyapkan kesusahan, beramar maruf nahi munkar, menegakkan hukum-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menyebarkan keadilan-Nya, memiliki ghiroh pada kehormatan-kehormatan-Nya dan menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
Berjuang sebagaimana Rasulullah dan para sahabat ra
Sayid Muhammad bin Alwi Al-Malikiy Al-Hasani mengatakan “Sejarah Nabi saw dan Islam telah melahirkan para pahlawan dan pejuang yang menjadi pemimpin dan guru-guru yang melestarikan peradaban Islam dan membela Islam, kaum bertakwa yang menebarkan hidayah ke seluruh penjuru alam, orang-orang yang menggoncangkan istana-istana, menaklukkan berbagai negara, mencetuskan pemikiran-pemikiran yang mengagumkan, membangun peradaban Islam yang berlandaskan ketakwaan dan keridhaan Allah, membangun pemerintahan Islam yang membentang dari Timur hingga ke Barat. Jika kita tidak segera memperbaiki keadaan kita dengan mencontoh peradaban yang mulia tersebut, tidak membina hubungan dengan para pahlawan dan pejuang kita dan tidak mempelajari kehidupan orang-orang yang dicetak oleh madrasah Insaanul Kaamil Rasulullah saw, maka akan sangat berbahaya dan dapat berakibat sangat buruk bagi umat Islam. Merekalah yang pantas untuk diteladani, didengar dan dipelajari ilmunya. KEADAAN KITA TIDAK AKAN MENJADI BAIK KECUALI DENGAN MENELADANI MEREKA.” Maka satu-satunya jalan yang mesti kita tempuh untuk meraih kembali kejayaan umat , agar nur hidayah tersebar merata di bumi adalah mengikuti dan meneladani langkah dakwah dan perjuangan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw dan para sahabat ra. Imam Malik pernah berkata:
Umat pada kurun terakhir ini tidak akan menjadi baik kecuali menempuh cara sebagaimana yang ditempuh oleh umat pada kurun terdahulu.
Sesungguhnya dari sejarah Nabi saw dapat diambil tiga pelajaran yang berhubungan dengan dakwah dan perjuangan beliau:
Pertama, persiapan sarana dakwah, serta pembangunan dan pengokohan pondasi dakwah sehingga bersinarlah cahaya kebaikan dan tampak tanda-tanda keberhasilan.
Kedua, keikhlasan, yaitu membersihkan dakwah dari berbagai keinginan dan kepentingan.
Ketiga, amal, yaitu bermujahadah secara sempurna untuk mendidik nafs.
Mau menjadi seperti apakah anda? Umat yang mengejar dunia sebagai tujuan dan sasaran? menjadi umat yang makan dan minum sebagai tujuan? Menjadi umat yang menambah kerusakan? Menjadi umat yang pasif tak berbuat apapun? Atau menjadi umat yang melanjutkan risalah dan menempuh jalan mereka para kekasih Allah?
Sungguh mulia bila pilihan anda adalah menjadi bagian dari umat yang memiliki tujuan untuk menempuh jalan Rasulullah dan para pewarisnya, mengembalikan kemuliaan umat Islam, membangkitkan semangat mereka, mengibarkan bendera Islam, memperbaiki umat, melenyapkan kesulitan, beramar maruf nahi munkar, menegakkan hukum-Nya, dan menolong hamba-hamban-Nya yang beriman.
Maka, melalui risalah ini kami serukan kepada anak, istri, keluarga, kerabat, para sahabat, dan seluruh kaum muslimin untuk mengalihkan niat, perhatian, tujuan dan sasaran yang menyimpang menjadi sebagaimana niat, perhatian, tujuan dan sasaran para kekasih Allah. Kami serukan untuk mengikuti, memperjuangkan dan menjadi penyeru jalan mereka, dengan menggunakan cara dan metode sebagaimana yang telah mereka lakukan. Kemudian sebagaimana generasi muslim pertama yang telah memahami tujuan dan sasaran hidupnya, mereka berhimpun membentuk satu jamaah yang kokoh dengan Rasulullah sebagai pimpinannya, Kami serukan pula dalam memperjuangkan jalan ini untuk kita berhimpun membangun jamaah, melakukan amal jama’i dan membuat shaf dalam barisan jama’ah yang rapi dan terorganisir sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat sebagai suatu manhaj.
Persiapan dakwah dan segenap sarananya
Sebelum berjuang, semua sarana perjuangan, usaha untuk menggalang kekuatan perjuangan dan perhatian pada semua hal yang diperlukan harus dipersiapkan dengan sempurna.
Sejak Nabi Muhammad saw diutus hingga beliau kembali kepada Allah, dakwah dan perjuangan telah melewati beberapa tahapan. Tiga tahun pertama, dakwah dan perjuangan beliau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian perjuangan dilakukan secara terang-terangan dengan lisan, tanpa peperangan. Tahapan ini berlangsung hingga beliau hijrah. Setelah hijrah, dakwah dan perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat ra dilakukan dengan peperangan melawan orang-orang yang menentang, orang-orang yang memulai peperangan dan orang-orang yang berbuat jahat. Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya perdamaian Hudaibiyah. Setelah itu, dakwah dan perjuangan beliau dan para sahabat ra dilakukan dengan memerangi semua orang yang menghalangi kegiatan dakwah.
Salah satu persiapan sarana dakwah dan perjuangan Rasulullah saw adalah usaha pengiriman buku atau surat kepada raja dan kepala pemerintahan di seluruh dunia untuk mengajak mereka memeluk Islam dan menjelaskan kebatilan agama mereka. Juga memilih orang-orang yang akan diutus untuk melaksanakan tugas ini dengan syarat mereka menguasai bahasa kaum di tempat mereka ditugaskan.
Semua ini menunjukkan bahwa setiap muslim harus mempersiapkan dakwah dan perjuangannya berikut segenap sarananya agar tidak terjadi keberhasillan sesaat kemudian mengalami kemunduran.
Di antara persiapan dakwah dan perjuangan adalah kaderisasi, yaitu mencetak manusia-manusia yang berilmu dan memiliki ghirah. Sebab, ilmu tanpa ghirah akan statis, tidak mempunyai jiwa (greget/spirit). Dan orang yang memiliki ghirah tanpa ilmu tidak pantas menjadi pemimpin atau pemberi petunjuk. Jangan sampai kita menjadi seorang yang berilmu, tapi tidak memiliki ghirah dan perhatian terhadap hal-hal yang mulia di sisi Allah, atau menjadi seorang yang memiliki ghirah dan semangat, tapi tidak memiliki ilmu, sehingga menyesatkan kaum muslimin.
Keikhlasan adalah ujung tombak Perjuangan
Setelah melakukan semua persiapan dan membekali diri dengan ilmu, maka ikhlas dan penyerahan diri kepada Allah menjadi ujung tommbak perjuangan. Sedangkan sikap shidq dan pengosongan pikiran dari keinginan-keinginan duniawi merupakan pintunya. Nabi saw telah mencontohkan sikap demikian dalam ucapan dan perbuatan beliau.
Turmudzi meriwayatkan bahwa Sayidina Umar ra mendapati Nabi saw sedang tidur di atas sebuah tikar yang meninggalkan bekas di tubuh beliau. “Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memakai kasur kasur yang lebih empuk,” kata Sayidina Umar ra. Nabi saw menjawab,
Apa urusanku dengan dunia. Di dunia ini aku ibarat musafir yang melakukan perjalanan di siang hari yang sangat panas, kemudian berteduh sesaat di bawah sebuah pohon. Setelah itu, ia harus melanjutkan perjalanan, meninggalkan pohon itu. (HR Turmudzi dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Majah Juz II hal 255)
Dalam hadis lain Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak memerintahkanku untuk menimbun harta dunia dan tidak pula memerintahkanku untuk memperturutkan keinginan-keinginan nafsu. Barangsiapa menimbun harta dunia agar dapat mengeluarkannya untuk kepentingan akhirat, maka ketahuilah bahwa umur manusia berada dalam genggaman Allah Azza wa Jalla. Ketahulah, aku tidak menimbun dinar dan dirham, dan aku juga tidak akan menyisihkan rezeki untuk esok.” (HR Abu Syeikh dalam kitab At-Targhib Juz II hal 257)
Jangan mengira kesederhanaan yang digambarkan dalam hadis-hadis di atas bertentangan dengan usaha seseorang untuk memperoleh rezeki yang baik dengan cara berdagang atau dengan usaha-usaha lainnya. Ketahuilah, usaha untuk mencari rezeki sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan Islam menjanjikan pahala dan kemuliaan bagi orang yang bekerja dengan shidq. Sebab, kegiatan dagang bukanlah rintangan untuk dapat hidup sederhana. Kadangkala, manusia bekerja keras (mengumpulkan harta), tapi ia hidup sederhana, menyedekahkan hartanya, berbuat baik, murah hati, dan berjiwa mulia. Ia bermanfaat bagi anak cucunya, karena meninggalkan mereka dalam keadaan berkecukupan. Kesederhanaan dapat mengalahkan semua cita-cita dan angan-angannya. Namun, risalah ini tidak akan membahas persoalan-persoalan di atas.
Nabi saw telah mengetengahkan pemikiran Islami ini, pemikiran yang menjadi asas dakwah dan perjuangan. Beliau bersabda di atas mimbarnya:
Sesungguhnya aku akan mendahului kalian. Aku akan menjadi saksi kalian. Dan kelak aku akan bertemu kalian di telaga (haudh). Sesungguhnya aku melihat telaga itu dari tempatku berdiri ini. Sesungguhnya aku tidak khawatir kalian akan menyekutukan Allah, akan tetapi aku khawatir kalian akan berlomba-lomba untuk mendapatkan dunia. (HR Bukhari)
Kaum mushlihun terdahulu yakni para sahabat dan salaf yang saleh, telah berjalan di atas manhaj yang lurus ini. Mereka takut dan menangis ketika melihat dunia dihamparkan di hadapan mereka. Sebab, mereka mengkhawatirkan rasa iri, dengki, permusuhan, pertikaian dan fitnah yang akan menimbulkannya.
Sayidina Umar bin Khattab ra menangis ketika melihat rampasan perang Al-Qadisiah. SAbdurrahman bin Auf ra berkata kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah hari ini adalah hari kebahagiaan dan kesenangan?”
“Benar, tapi tidak ada suatu kaum pun yang memperoleh kenikmatan ini, kecuali mereka akan saling bermusuhan,” jawab beliau. (Diriwayatkan oleh Baihaqi)
Maksudnya, dunia dapat menimbulkan permusuhan dan perselisihan dalam masyarakat, yakni ketia orang-orang yang berjiwa lemah melihat orang lain memperoleh harta yang banyak.
Karena dakwah dan perjuangan para sahabat dan salaf shaleh hanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dan kebaikan akhirat, maka akal, pemikiran dan amal mereka bebas dari tujuan keduniaan, cinta kedudukan atau usaha untuk memperkuat kekuasaan. Dan karena mereka benar-benar mencari keridhaan Allah dan bersikap shidq dalam mentaati-Nya, maka Allah pun meridhoi mereka dengan menjadikan dunia tunduk dan patuh kepada mereka, menjadikan kekuasaan berada di tangan mereka. Semua ini berusaha dengan sungguh-sungguh (berjihad), beramal dan beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka sebagai penguasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. (An-Nur, 24:55)
Ayat ini merupakan jaminan dari Allah SWT dan janji itu pasti akan diberikan kepada orang yang teguh imannya dan banyak amalnya. Jika seorang muslim berusaha untuk melaksanakan kewajiban dan mewujudkan apa yang dituntut Allah darinya, ia akan memperoleh janji itu, yakni menjadi khalifah Allah di bumi. Namun, seseorang yang ingin sukses tanpa usaha, atau mengabaikan faktor-faktor penunjang kesuksesan, ia seperti orang yang ingin menjadi juara tanpa belajar dan usaha keras.
Rasulullah saw bisa saja menyatukan bangsa Arab – kaum Quraisy dan semua kabilah Arab – di bawah satu bendera, beliau bisa saja membentuk pemerintahan Arab yang kuat, kemudian tampil sebagai pimpinan mereka untuk membela bangsanya dan menghancurkan bangsa Persi dan Romawi. Bendera Arab akan berkibar megah di seluruh penjuru dunia, barat maupun timur, dan bangsa Arab akan memperoleh kemuliaan abadi. Jika hal ini beliau lakukan tentu semua orang yang menentang, memusuhi dan menghalangi dakwah dan perjuangan beliau akan segera mengakui pemerintahan beliau, bersatu mendukung beliau daan tunduk di bawah kepemimpinan beliau. Bagaimana tidak, karena beliau adalah Al-Amin (yang dipercaya), Ash-Shoodiq (yang jujur), Al-Wafiy (yang menepati janji), yang pernah mereka angkat sebagai pemimpin dalam menyelesaikan permasalahan terbesar orang-orang Mekah, yaitu ketika meletakkan kembali Hajr Aswad di Ka’bah. Namun beliau sama sekali tidak pernah berpikiran demikian. Bahkan ketika mereka menawarkan kepadanya kedudukan yang menjadi dambaan setiap orang berakal, yaitu ketika mereka berkata, “Jika tujuanmu berdakwah adalah untuk memperoleh harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu sehingga kau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kemuliaan, maka kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami, dan kami tidak akan melakukan sesuatu kecuali dengan perintahmu. Jika kau ingin menjadi raja, maka kami akan mengangkatmu sebagai raja kami.” Mereka mengulang-ulang tawaran itu. Namun beliau menjawab tegas:
Aku datang kepada kalian membawa apa yang kubawa (agama Islam), bukan untuk meminta harta, mengharapkan kemuliaan, dan juga tidak karena ingin menjadi raja. Akan tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Aku telah menyampaikan perintah Tuhanku dan telah menasehati kalian. Jika kalian mau menerimanya, maka itu bagian kalian di dunia dan akhirat. Namun, jika kalian menolaknya, maka aku akan bersabar karena perintah Allah hingga Allah menghakimi aku dan kalian. (Siroh Ibnu Hisyam hal 114)
Nabi saw telah menyatakan hakikat dakwahnya, dan telah membersihkan dakwahnya dari semua tujuan yang kadang tersembunyi dalam nafs para dai dan pejuang pemula dan semua penyeru kebaikan. Inilah salah satu rahasia keberhasilan dakwah. Setiap mushlih (reformer) atau mujaddid yang menyimpang dari manhaj ini, tidak akan berhasil dan sulit diterima masyarakat.
Dakwah Nabi saw berkembang pesat. Cahaya dan ruhaniah beliau selalu menycikan dan menyelimuti dakwah dan perjuangannya, sehingga perjuangannya itu menjadi benar, sempurna, maju dan mulia. Allah akhirnya menundukkan musuh-musuh dan penentang terbesarnya dan menjadikan mereka sebagai sahabat.
Mujahadah untuk Mendidik Nafs
Tidak diragukan lagi, bahwa dakwah yang pada hakikatnya merupakan upaya untuk mewujudkan perubahan secara menyeluruh harus diikuti dengan mujahadah (perjuangan/kerja keras). Mujahadah ini diperlukan untuk setiap tahapan dakwah. Jika kita mempelajari Quran Al-Karim, buku-buku sejarah nabi dan kehidupan para sahabat ra, kita akan menemukan contoh dan teladan yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya merupakan perwujudan mujahadah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar