Jumat, 25 Februari 2011

SAMUDERA ALI HABSYI

Ketika mengetahui istrinya hamil, al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf murid Habib Ali pun mendatangi kepada al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi untuk mengabarkan berita gembira ini, kemudian sang guru pun memberi nama Abdul Qadir. Dan benar, setelah sembilan bulan lahirlah anak laki-laki. Namun, takdir Allah SWT berkehendak lain anak itu meninggal dunia tak lama setelah lahir. Beruntung tak berapa lama kemudian istrinya kembali hamil. Lagi-lagi al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi menyarankan agar jika kelak lahir anak laki-laki diberi nama Abdul Qadir. Beliau juga mendo'akan agar kelak sang jabang bayi tersebut menjadi seorang ulama yang bermanfaat bagi masyarakat. al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf lahir di kota Seiwun, pada bulan Jumadil Akhir 1331 H bertepatan dengan tahun 1911 M, dua tahun sebelum wafatnya al-Imam al-Qutub al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi.
Habib Umar Mulachela yang kesehariannya selalu 'ngenger' kepada Habib Ali di tahun yang sama ketika lahir anaknya laki-laki juga dinamai Abdulqadir, terlahir dan terkena siraman air panas, namun berkat doa Habib Ali, Allah pun sembuhkan Habib Abdulqadir yang masih bayi.

Asy-Syekh al-Imam Ali bin Abubakar as-Sakran berkata, "sesunguhnya asy-syeikh Muhammad bin Hasan al-Bajali termasuk ulama besar di Yaman, pernah suatu saat ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad saw." Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa dalam mimpinya itu ia bertanya kepada Nabi Muhammad saw, "wahai Rasulullah, apakah amalan terbaik untuk aku lakukan di zaman ini? Nabi Muhammad saw menjawab, "Sebaik-baik amal kebajikan di masa kini ialah engkau bersimpuh dihadapan seorang wali Allah baik ia masih hidup atau sudah meninggal dunia meski sejenak, seperti memerah susu kambing atau memecah sebutir telur, (hal itu) lebih baik daripada beribadah sampai tubuhmu terpotong-potong."
Perhatikanlah hal ini, karena seorang auliya senantiasa hatinya mendapat curahan pandangan Ilahi, dan bila seseorang memiliki hubungan dengan para auliya, atau mencintai para auliya, atau dicintai oleh para auliya, atau memiliki ikatan hati dengan mereka, atau menghadiri majelis-majelis mereka, niscaya ia akan mendapat percikan pandangan Ilahi sesuai dengan kesiapan hatinya.
Sering diceritakan bahwa orang-orang dahulu selalu cinta kepada para ulama, melayani mereka bahkan mengikuti jejak mereka. kita bisa lihat dari cerita keseharian mereka. asy-syeikh Abdullah Ali Makarim seorang yang kaya, biasanya sekitar satu jam sebelum Maghrib ia pulang ke rumah lalu membawa segentong air ia bawa ke tempat majelis al-Habib Ali, di sana air itu ia bagikan kepada para hadirin lantaran sudah tua. Banyak orang yang bilang, "Wahai Abdullah kiranya engkau serahkan orang lain untuk membawanya meski dengan upah kecil pasti mau." Ia menjawab, "Tolong jangan kalian haramkan aku untuk melayani para ulama." Asyeikh Ba Makhramah mengingatkan kita, "Sungguh orang yang melayani mereka (para shalihin) haram atasnya api neraka dan andaipun disentuh pastilah tidak panas."
Bukan itu saja Syeikh Abdullah Ali Makarim juga menjadi tukang sapu di masjid Thaha, mereka menanyakannya perihal menyapu ini: "Biar orang lain saja yang menggantikanmu menyapu mesjid ini dengan upah sedikit roti dan kurma." Ia balik menjawab, "Kenapa kalian kok banyak mempermasalahkan aku untuk menjadi penyapu mesjid ini?" Lalu ia mengambil tanahnya masjid, melihat ini banyak orang yang tanya: "Kalau begitu tanah ini untuk apa?" Ia menjawab, "Tanah ini aku jadikan untuk bagian dari kuburku, bayangkan saja tanah ini sudah di lewati oleh kaki orang-orang yang shalat di antara mereka ada para ulama, para wali, orang-orang shalaeh, orang yang gemar membaca al-Quran,, para ahli zikir dan orang-orang taat lainnya." Coba lihat bagaimana niat mereka hingga membuat mereka bersikap demikian.
Beliau selalu menghadiri majelis al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, ia selalu menulis berbagai macam niat di balik jendela, jadi bila ingin keluar rumah menuju pasar ia selalu membacanya, di antara niat-niat itu: "Aku niat memberi pinjaman orang yang mau meminjam, aku niat mencari rezeki halal, aku niat melindungi harga diriku, aku niat menolong kerabatku, aku niat menafkahi anakku." Niat-niat ini beliau tanamkan dalam hati hingga ketika keluar beliau diliputi keberkahan dari Allah SWT.
Para salaf terdahulu mencurahkan segala upayanya untuk menjadi teladan bagi orang lain dalam memakmurkan masjid, waktu, membantu orang lain, mendidik anak, dan menjaga kebiasaan para salaf, hingga kita di masa sekarang ini berhutang budi kepada mereka. Kalau kita lihat contoh yang ada di hadapan kita adalah al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi yang senantiasa berada di jalur salafnya dan berupaya sekuat tenaga dalam menularkan pendidikan ini kepada anak orang lain apalagi pad anaknya sendiri. al-Habib Ali al-Habsyi membangun pondok pesantren untuk tempat pendidikan dan akhirnya dari segala penjuru berdatangan kepadanya.
Tujuan utama dari ini semua ialah berperan serta menajdi wakil dari sosok Nabi Muhammad saw yang disesuaikan dengan landasan semangat tinggi pada dirinya sebagai keturunan Rasulullah saw, dirinya sebagai umat Islam yang patut berkorban demi agamanya, dari sejak pertama kalian dengar bagaimana beliau berupaya menyebarkan ilmu di Hadhramaut hingga tersebar merata.
Sebagai contoh maulid beliau yang kita baca ini asalnya beliau sampaikan kepada kalangan tertentu dalam tiga kali pertemuan yang akhirnya dijadikan sebuah kisah maulid untuk semua kalangan. Sebelum mengadakan maulid yang mingguan dulu, beliau mengadakan acara maulid tahunan dengan jumlah hadirin sekitar tiga puluh ribu orang padahal kala itu sulit buku ini beliau kirim ke berbagai pelosok, hingga ketika tiba hari maulidnya itu banyak yang datang bukan dari Hadhramaut saja tapi berdatangan dari segala penjuru seperti kota Aden yang jaraknya begitu jauh dan perjalanannya melelahkan, apalagi masih belum ada mobil dan pesawat seperti dewasa ini.
Mereka semua disediakan tempat untuk menginap dan jamuan makanan, bayangkan rumah, masjid, pondok beliau penuh begitu juga rumah pengikut beliau penuh dengan tamu, seluruh biaya beliau yang menanggungnya. Hal ini menunjukkan betapa besarnya semangat beliau untuk menjadi wakil dari Nabi Muhammad saw hal ini bukan hanya untuk kalangan terdahulu, tetapi masih berlaku untuk kita.
Sekarang kalau kita tengok biografi mereka para ulama kita dapati mereka telah meniti jalan yang benar, sedangkan kalau kita bandingkan diri kita dengan mereka pasti kita dapati hasil kita nol, baik dalam amalan maupun budi pekerti, dan kalau kita masih saja rela seperti ini sama saja kita ingin untuk tidak dikenang dan ibaratnya kita berjalan di kalangan orang hidup, tapi sebenarnya kita ini mati.
Sebagaimana ungkapan sebuah syair, "Bagi yang umurnya sia-sia sebaiknya ia tangisi, karena ia tidak mendapat bagian ataupun keuntungan darinya. Hendaknya masing-masing dari kita bisa mengambil pelajaran dari para salaf terdahulu dan mengikuti jejak mereka."
Kalau kita lihat bagaimana jasa al-Habib Ali al-Habsyi, ketika hatinya penuh dengan ambisi untuk menyebarkan hidayah di tengah manusia, maka beliau berpikir bagaimana membuat maulid sebesar itu, memakmurkan masjid dan memberi uluran bantuan kepada mereka, kiranya beliau dapatkan ini darimana? Tentu saja dari sumber kekayaan Tuhannya. Hal ini masing-masing dari kita bisa menerapkannya.
Sungguh kita ini berhutang budi kepada al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, dakwah dan nasihatnya masih berkumandang sampai sekarang.
al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata, "Barangsiapa di zamannya tidak pernah bersahabat dengan seorang syeikh yang arif dan kokoh, hidupnya berlalu begitu saja sedangkan ia termasuk orang yang bangkrut."
al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang muridnya, "Sungguh beruntung orang yang masuk dalam daftar kami, karena kami membangun dengan pondasi yang kokoh dan tidak bakal rusak selamanya."

Salah seorang dari sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang arif billah yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di zamannya ” Al-Imam Al-Qutub Al-habib Ali bin Muhammad Al-habsyi” r.a. sebagai Syaikhun-Nadzar. (Guru Pemerhati).

Perhatian dari maha gurunya ini telah tertumpahkan pd murid kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang sangat menarik antara Al-habib Ali dengan salah seorang muridnya yang lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya. Beliau lalu berkata “Ingatlah ada tiga auliya’ yang nama, haliah dan maqam mereka sama”. Wali yang pertama telah berada di alam barzakh, yakni Al-habib Qutbul-Mala’ Abubakar bin Abdullah alydrus, dan yang kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, yaitu Al-habib Abubakar bin Abdullah at-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya.

Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, kala itu dalam mimpinya Nabi SAW menuntun seorang anak yang masih kecil sembari berkata kepada orang tersebut, lihatlah aku bawa cucuku yang shaleh “Abubakar bin Muhammad Assegaf”! Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tak pernah kenal dengan Habib Abubakar sebelumnya. Kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi SAW.

Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abubakar Assegaf, iapun menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya’ yang nama, haliah dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah dikatakan oleh Habib Ali Al-habsyi kepada beliau. Kiranya tak meleset apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat wali yang ketiga di akhir usianya, karena setelah pertemuannya dengan Habib Abubakar ia pun meninggalkan dunia yang fana ini, berpulang ke Rahmatullah, Takdiragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga suatu saat Al-habib Ali Al-habsyi menikahkan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di kota Siwuun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung seluruh biaya perkawinannya.



Al-Habib Alwi bin Segaf Assegaf Pasuruan belajar kepada al-habib Ali dan pasrah kepadanya, ia melihatnya sebagai orang yang shaleh dan akhirnya mendapat berkah sehingga dapat meneladani dan mengikuti jejaknya, sehingga ketika ia hijrah meninggalkan Hadhramaut mengarungi daratan dan lautan hingga sampailah sosoknya kepad kalian ini dengan jiwa yang membawa ketenangan dan kilauan cahaya yang melekat di wajahnya dari warisan Nabawi. Cahaya itulah yang membuat orang-orang berbondong-bondong kepadanya hingga banyak orang yang masuk ke dalam Islam, banyak yang menimba ilmu dan akhirnya banyak yang meraup berkahnya, hingga banyak orang yang mendapat hidayah berkatnya.

Habib Ali al-Habsyi berkata, "Kapal tidak bakal bisa bergerak kecuali bila pendayuhnya kuat." Maksudnya adalah semangat merupakan puncak peluang dan pertanda kabar baik, setiap orang yang berniat melakukan satu perkara meski besarnya seperti apa asal ia semangat pasti segala bentuk kesulitannya akan lembek di hadapannya dan ia bakal mendapat pertolongan Allah, hingga semua urusannya menjadi mudah.


Suatu kali al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi meminta wasiat kepada al-Habib Abubakar bin Abdullah al-attas, beliau menjawab, "Wahai anakku, kalau wasiat langsung saja dari hati ke hati tidak harus di atas secarik kertas, namun aku akan wasiatkan kepadamu beberapa hal semoga engkau dapat mengambil manfaatnya. Pertama jadikanlah niat yang baik kepada Allah SWT untuk setiap hal yang akan engkau kerjakan, contohnya kalau kamu mau membangun rumah niatkan sebagai tempat tinggal untuk melindungi keluarga, tempat menyambut para tamu, tempat yang berguna bagi anak-anak, dan berbagai niat baik lainnya agar semuanya menjadi amalan ukhrawi."
Jadi sama halnya jikalau orang mau memakai baju atau membeli baju atau mau melangsungkan pernikahan dan lain sebagainya, semuanya dipasangi niat yang baik dahulu agar menjadi amalan ukhrawi bahkan terpisah dari unsur duniawi berkat niat tersebut. Kedua jalankan shalat witir dengan cara yang biasa aku lakukan, kelak akan nampak padamu rahasia dan cahayanya. Yang ketiga aku pernah berjumpa dengan al-Habib Shaleh bin Abdullah al-Attas lalu aku bertanya kepada beliau: "Apakah tarekat Ba Alawi?" Beliau menjawab, "Penghambaan kepada Allah secara murni dan memutuskan rasa pengharapan kepada orang lain."
Al-Habib Ali bin Muhammad al-habsyi mengatakan : "Akhirnya aku faham maksudnya, karena itulah aku minta ibuku untuk mengangkat tangannya dan berdoa, "Ya ALlah berilah anakku Ali penghambaan yang murni kepada-Mu dan rasa putus harapan kepada orang lain, Doa ini tolong ibu jadikan kebiasaan mengulanginya."

Pendiri Masjid Hanbal adalah seorang yang pekerjaanya menjahit peci. Sebagian penghasilannya ia sisihkan untuk biaya pembangunan masjid padahal kalau dihitung uang hasil dari menjahit ini tidak bakal cukup untuk membangun masjid, tetapi lihatlah dengan kesungguhannya itu membuatnya dimudahkan oleh Allah SWT dalam membangun masjid.

al-Habib Muhammad bin hadi assegaf beliau tidak keluar dari rumah kecuali untuk mengajar atau acara penting, setiap kali lewat di jalan semua mata tertuju kepadanya, majelisnya selalu penuh, mereka merasakan kenikmatan saat mendengar wejangan-wejangan darinya, bahkan apabila lewat di jalan orang-orang yang sedang lalai, mereka semua terdiam saat melihat kehadirannya.
Al-Kisah salah seorang murid Habib Ali al-Habsyi yakni al-Habib Abubakar bin Shahab menghadiri pelajaran di majelis al-Habib Ali bin Muhammad al-habsyi. dilihatnya ia sibuk seakan-akan tidak perhatian dengan pelajaran, al-Habib Ali pun menegurnya: "Wahai Abubakar keliahatannya malam ini engkau kurang perhatian dengan pelajaran, apakah engkau paham pelajaran tadi?" Ia menjawab, "Iya, aku faham."
Teguran gurunya ibarat cambuk baginya, hingga dalam semalam ia menulis buku nadham tentang ilmu waris dan keesokan harinya diperlihatkan kepada sang gurunya itu. Sekarang sudah jarang sekali hal semacam ini. Beliaulah murid Habib Ali yang luas ilmu, beliau menulis di segala bidang ilmu baik itu syair atau manthiq dan lain sebagainya hingga mampu menulis sebuah buku syair tentang ilmu faraidh yang ditulisnya dalam semalam.