Rabu, 16 November 2011

24 HARI PERJALANAN HAJI Ir. Habib Husin Mulachela-New

Tanggal: 18 Oktober 2011 - 11 Nopember 2011 / 20 Dzul Qo'dah 1432 - 14 Dzul Hijjah 1432 H

5 hari pertama ke Mekkah kegiatannya diantaranya umroh & Membaca kitab simtudduror di rumah kelahiran Rasulullah saw
KEmudian ke Madinah Mengerjakan arbain dan bermacam kegiatan
Setelah itu Kembali ke Mekah untuk menunaikan Ibadah Haji dengan cara Qiron
Kisah Pak Arwan ketika perjalanan dari Madinah menuju Mekah di Bus Transit.
Kisah di Masjid Nabi ketika Habib sedang Membaca SImtud duror
Kisah kejadian aneh di Rumah Kelahiran Rasulullah saw
Kisah keponakan Pak Arwan (seorang Polisi) yang "terpaksa" Menunaikan Haji namun diakhiri dengan terbukanya pintu Tobat.
Akhlak Habib Husin selama perjalanan.





Senin, 28 Maret 2011

Ya Karim, Sabda Nabi

Diriwayatkan ketika Rasulallah saw sedang bertowaf, beliau mendengar seorang A’rabi (Arab Badui dari gunung) berkata dengan suara keras “Ya Kariim”. Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang dan berkata “Ya Kariim”. Kemudian A’rabi itu berjalan menuju ke arah pancuran Kab’ah lalu berkata lagi dengan suara lebih keras “Ya Kariiim”. Rasulallah saw pun mengikutinya dari belakang, juga berkata “Ya Karim”. Berasa ada yang mengikutinya dari belakang, A’rabi tadi menengok ke arah suara, lalu berkata,

“Apa maksudmu mengikuti perkataanku?. Apakah kau sengaja mengejekku karena aku seorang A’rabi, Arab Badui dari gunung?. Demi Allah, kalau bukan karena wajahmu yang bersinar dan parasmu yang indah maka aku akan adukan hal ini kepada kekasihku Muhammad, Rasulallah saw.”

Rasulallah saw pun tersenyum lebar mendengar uraian A’rabi tadi, lalu berkata,

“Wahai saudaraku, apakah kau pernah melihat Rasulallah?”

A’rabi tadi berkata,

“Aku belum pernah melihatnya sama sekali.”

Rasulallah saw lalu berkata lagi,

“Apakah kamu beriman kepadanya?”

“Demi Allah, aku beriman kepadanya walaupun aku belum pernah melihat wajahnya, dan percaya dengan risalahnya walaupun aku belum pernah bertemu muka dengannnya,” tegasnya.

Lalu Rasulallah saw berkata,

“Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa sesungguhnya aku adalah Nabimu di dunia dan pemberi syafa’at bagimu di Akhirat.”

Begitu A’rabi tadi mengetahui bahwa beliau adalah Rasulallah saw, dengan sepontan ia menarik tangan beliau lalu menciumya berkali kali. Walaupun Rasulallah saw berusaha menarik tangan beliau, tapi A’rabi tadi tetap memegangnya dengan keras dan menciumnya. Lalu dengan penuh tawadhu’ beliau menahan lagi tangannya sambil menariknya, seraya berkata,

“Perlahan-lahan wahai saudaraku, sesungguhnya aku diutus sebagai Nabi bukan sebagai raja, aku diutus sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, bukan perkasa dan penyombong”

Seketika itu juga malaikat Jibril as turun dari langit kepada Rasulallah saw lalu berkata,

“Allah mengucapkan salam kepadamu, dan mengkhususkan tahiyyatNya atasmu. Dia berfirman, ‘Katakanlah kepada A’rabi janganlah merasa bangga dengan amal kebaikanya, sesungguhnya esok Kami akan menghisab amalnya yang kecil sebelum yang besar, bahkan sampai yang sekecil kecilnya tidak akan diluputkan.’ “

Lalu Rasulallah saw menyampaikan pesan Allah kepada A’rabi tadi. A’rabi pun berkata,

“Apakah Allah akan menghisabku kelak, ya Rasulallah?”

Rasulallah saw berkata,

“Iya betul, dengan kehendakNya, Allah akan menghisabmu kelak”

A’rabi tadi lalu berkata lagi,

“Jika Allah akan menghisabku esok, maka akupun akan menghisabNya kelak”

Rasulallah saw merasa heran mendengar jawaban A’rabi tadi, lalu berkata

“Wahai saudaraku, bagaimana caranya kamu akan menghisab Allah kelak?”

Dengan lantang dan penuh keyakinan A’rabi tadi berkata,

“Jika Allah akan menghisabku atas dosa-dosa yang aku lakukan, maka aku akan menghisabNya atas ampunanNya yang maha luas. Jika Dia akan menghisabku dengan maksiat yang aku perbuat, maka aku akan menghisabNya atas maghfirahNya yang tidak terbatas. Jika Dia akan menghisabku atas kekikiranku maka aku akan menghisabNya atas kemurahanNya yang tanpa batas”.

Mendengar uraian A’rabi tadi, Rasulallah saw menangis tersedu-sedu sehingga jenggot beliau basah dengan airmata. Tangisan Rasulallah saw didengar oleh malaikat Jibril as yang membuatnya turun lagi dari langit, lalu berkata kepada beliau,

“Wahai Rasulallah, janganlah kamu menangis, sesungguhnya Arsy dan seisi-isinya bergetar mendengar tangisamu.Katakanlah kepada saudaramu A’rabi sesungguhnya Allah tidak akan menghisabnya dan ia tidak usah menghisabNya. Katakanlah bahwa ia akan menjadi temanmu nanti di surga”

Kisah di atas patut dijadikan bahan renungan. Agar kita memiliki sifat tawadhu’ dan sikap hidup yang selalu memberi perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Biarpun kita memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat, semua itu tak berarti sedikit pun jika tak memiliki sifat perhatian kepada yang rendah dan yang di bawah. Nah, kalau begitu, jadilah kita seseorang yang memiliki jiwa seperti Rasulallah saw yang selalu tawadhu’, sederhana, dan menghormati semua kelompok manusia tidak perduli apapun kedudukanya.

“Allahumma shalli a’la sayyidina Muhammad wa a’la alihi wa shahbihi wa sallim”

Wallahu a’lam

(Ditulis oleh: Habib Hasan Husen Assegaf)

Minggu, 20 Maret 2011

MENYUSURI JEJAK KEKASIH ALLAH: AL-IMAM AL-HABIB 'ALI BIN MUHAMMAD AL-HABSYI

“Dengan pertolongan AL-Habib Ali kepadakau,

bilamana kesulitan menimpa kami,

maka kepadanyalah kami kembali Wahai yang mempunyai kedudukan agung

disisi Allah sambutlah panggilan seorang hamba yang dengan engkaulah

dia memohon syafaat Engkaulah pelindung bagi siapa yang membutuhkan,

bagaimana tidak! Dan dengan Engkaulah kesulitan dapat terhindar….”

(Habib Abdulkadir bin Umar Muachela – 1397 H)

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang

Segala puji bagi Allah yang tiada terhingga bilangannya, tiada menjemukan pengulangannya sering diulang-ulang atas perkenan-Nya menampilkan di alam kenyataan perwujudan semulia-mulia insane; agar seluruh makhluk beroleh kemulaan tiada terhingga dengan rahasia keutamaan yang mengiringi kehadirannya, tersebar merata diseluruh alam semesta. Dialah hamba Allah yang diutus kepada penghuni alam seluruhnya, pembawa berita gembira di samping ancaman derita, Dialah Rasulullah Muhammad Saw. maka iapun menyampaikan risalah dan menunaikan amanah; sehingga umat dalam jumlah besar beroleh hidayah Allah dengan perantaranya. Jadilah ia pelita penerang dan bulan purnama bagi pencari cahaya, penembus kejahilan gelap gulita.

Kemudian Allah member keistimewaan kepada siapa yang dikehendaki dari umatnya, tuk dinaiklan ketingkat ilmu ma’rifat dan hakikat serta member siraman lautan ilmu laduni dan ilmu lathifah serta pelita ilmu Ketuhanan. Lantaran itu, mereka menjadi juru petunjuk umat dan perintis ke jalan Allah yang Maha Agung lagi Maha Mengetahui, mengajak hamba-hamba Allah lewat jalan setinggi-tingginya jalan yang lurus.

Den semoga Allah senantiasa mencurahkan shawalat dan salam-Nya kepada Sayidina Muhammad; pembuka pintu Rahmat Allah, sebanyak ilmu Allah, shalawat dan salam yang selalui tercurah sekekal kerajaan Allah, dan juga kepada keluarga, sahabat, serta orang-orang yang mengikuti beliau. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk memperoleh hidayah melalui petunjuk-petunjuk mereka, mengikuti amalan-amalannya serta mendapatkan pembagian cahaya dari orang-orang tersebut agar dapat menghilangkan kegelapan, kebodohan, selagi biografinya orang-orang tersebut masih harum semerbak berkumandang didengar, lestari dawuh-dawuh kebenaran riwayat keutamaannya, yang demikian itu akan membangkitkan semangat taat dan pengabdian kepada Allah.

Adapun setelah itu, biografi ini hanya merupakan setetes dari samudera Imam Habsyi, bagian kecil penjelasan perilaku seorang wali Allah; Qobul wujud walmakin; shohibul waqi, pimpinan kami; penolong kami; al-Imam; kholifah semulia-mulia insane; Insanul kamil; al-mushil wal-waashil kepada Allah; Al-‘allamah al-‘aarif billaah Habibina Ali bin Muhammad Al-Habsyi.

Jika kedekatan dan perjumpaan

Dengan kekasih tak dapat kujalani,

Maka dalam mengenang mereka

Kuperoleh kebahagiaan bagi duka di hati

Karena didorong rasa cinta, kami susun biografi beliau yang telah mencapai tingkat kesempurnann amalnya, agar turun rahmat Allah yang melimpah dan barokah yang banyak, Karena dengan menyebut-nyebut hal ihwal ulama, waliyullah tersebut, menyebabkan terbukanya barokah dari langit yang yang tertinggi mendung kemurahan dari Allah SWT.

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan kita di jalan‑Nya, lewat makhluk yang paling (dicintai‑Nya, yakni kepada beliau melalui perantara yang paling kuat hubungannya Rusulullah saw. Kemudian menghantarkan kita kepada beliau, manusia yang paling mulia kedudukannya disisi beliau, yakni para pewaris beliau yang mulia, anak cucu beliau yang suci pemangku sir beliau yang terjaga. Mereka adalah orang‑orang yang telah dipilih Allah sebagai pemberi petunjuk kepada makhluk yang kebingungan. Di setiap masa mereka selalu ada hingga datanglah masa bintang yang penuh cahaya ini, yakni Habib Ali bin Muhammad Al‑Habsyi yang muncul di tengah‑tengah masyarakat sebagai perwujudan dari Sayidina Muhammad : perwujudan perilaku, petunjuk dan thoriqoh beliau saw. Rasulullah saw berkata kepadanya:

"Bukankah aku telah menjadikahmu sebagai khalifahku, wakilku, penggantiku untuk memberi petunjuk kepada hamba‑hamba‑ Allah.”

Bagaimana tidak, Habib Ali adalah anak cucu beliau, penyejuk hati beliau, buah hati beliau dan pusat pandangan beliau dalam umatnya! Bukankah kita telah mendengar sabda beliau:

Husein dariku dan aku dari Husein. Allah mencintai orang yang mencintai Husein.

(HR Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)

Sesungguhnya Sayidina Husein cukup bangga dengan ucapan Rasulullah Husein dariku akan tetapi ucapan 'Aku dari Husein' lebih mengagumkan, lebih agung, lebih besar, dan lebih hebat. Dari Sayidina Husein inilah melekat cikal bakal Habib Ali ra. Dari Sayidina Husein bersambung pada sulbi Imam Ali Zainal Abidin, yang diantara wirid‑wirid beliau setiap hari adalah shalat‑ sunah 1000 rakaat, membaca 100.000 kalimat

disamping membaca Quran, qiyamullail, dan bersedekah. Pi4aha stici Allah yang telah menjadikan umur dan waktu mereka penuh berkah. setelah Imam Ali Zainal Abidin mengorbitlah cikal bakal Flabib Ali ra pada orang-­orang yang dilukiskan oleh seorang penyair sebagai :

Merekalah kaum muda,

mencintai mereka adalah bagian dari agama

membenci mereka adalah kufur

kedekatan dengan mereka adalah perlindungan,

Di antara kaum yang bertakwa,

Merekalah pimpinannya

Dan jika ditanya siapakah penghuni bumi yang

terbaik., merekalah orangnya.

Mereka diantaranya adalah Imam Muhammad al‑Baqir, Imam Ja'far ash‑Shodiq, Imam Ali al‑'Uraidhi, Imam Muhammad an‑Naqib, Sayidina 'Isa ar‑Rumi. Dalam sulbi‑sulbi merekatah cikal bakal Habib Ali ra mengorbit, hingga sampailah pada sulbi Imam Muhajir Ahmad. Ketika Imam Abdullah bin Umar bin Yahya melihat Rasulullah saw.. ia bertanya, "Ya Rasulullah, apakah engkau senang dengan hijrahnya Ahmad bin Isa Al‑Muhajir ke Hadhrainaut? "

"Aku menyukai apa pun yang disukai Ahmad bin Isa, aku senang dengan apa yang membuat Ahmad bin Isa senang, "jawab Rasulullah saw.

Selanjutnya mengorbitlah cikal bakal Habib Ali. ra. pada Imam Ubaidillah, dilanjutkan oleh Imam Alwi yang darinya akan selalu lahir orang‑orang mulia sampai munculnya Imam Mahdi. Kemudian mengorbit dalam sulbi Imam Muhammad, Imam Alwi, dari Imam Ali Kholi' Qosani yang salamnya kepada Rasulullah di dalam shalat dijawab langsung oleh beliau saw. Kelak Habib Ali ra akan dinamai sebagaimana nama Imam ini, bukan sekedar mengambil berkah nama tapi dikarenakan sang Habib akan mewarisi hal dan asror Imam Ali Kholi Qosam.

Selanjutnva mengct‑bitlah cikal bakal Habib Ali ra pada sulbi Imam Muhammad Shohib Mirbath, yang digelari sebagai seorang imam dari seantero kaum yang mendapat hidayah dan diilhami karena darinyalah tumbuh subur benih‑benih yang baik dari keimanan. Dilanjutkan pada sulbi Imam Ali dan sampailah pada sulbi imam Faqih al‑Mudaddam Muhammad yang bidayahnya seperti nihayah rekan‑rekannya, ia adalah pewaris kakeknya Imam Ali Zainal Abidin.

Kemadian berpindah‑pindahlah cikal bakal Habib Ali ra diri sulbi Imam Faqih Muqqaddam Muhammad kepada Sayid Ali, kepada Sayid Hasan at‑Turabi, kepada Sayid Muhammad Asidullah yang sangat mencintai dan memberikan perhatian khusus kepada keturunannya yaitu Habib Alwi bin Ali bin Muhammad al‑Habsyi. kemudian berpindah kepada Sayid Ahmad Shohibus Syi'ib, Sayid Ali, Sayid Abubakar al‑Habsyi, Sayid Alwi, dan Sayid Muhammad Ashghar.

Kemudian berpindah cikal bakal Habib Ali ra kepada Sayid Ahmad al‑Habsyi seorang murid dari guru yang mulia Syeikh Abubakar bin Salim. Ketika kubur Sayid Ahmad diziarahi oleh salah seorang murid Habib Ali, dan dikatakan olehnya, "Aku tidak datang untuk menziarahi batu dan kapur. Jabatlah tangrinku dengan tangan yang pernah kau gunakan untuk menjabat tangan Syeikh Abu Bakar bin Salim. Tak lama kemudian munculah tangan dari makam Habib Ahmad bin Muhammad al‑Habsyi, mereka lalu berjabat tangan. Habib Alimad juga hidup sezaman dengan Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhramah, dimana Syeikh Umar telah menyusun syair untuk Habib Ali ra.

Dikisahkan bahwa Habib Ali ra berkata kepada Habib Umar bin Hamid, "Ketahuilah, Ba Makhromah menyebut namaku dalam syairnya:

Wahai Ali,

serahkan makhluk Allah kepada Allah,

dan tenanglah

Jika mereka baik maka baiklah

Jika tidak katakanlah

Mereka pasti akan menjadi baik.

Dan lihatlah, Umar Ba Makhromah menanyakan kabarku kepada bibimu Fatimah:

Wahai Fatimah,

bagaimanakah kabar kekasihku

yang dekat kepada Allah

Kekasih yang dicintai

saat sendiri atau di saat ramai

Semoga Allah membalas Syeikh Umar Ba Makhromah dengan kebaikan.

Demikian Habib Ali mengisahkannya sebagaimana tertulis di dalam kitab Fuyudhaatul Bahril 'Maliy. Padahal syeikh ini hidup 400 tahun sebelum Habib Ali lahir. Dalam mimpi Habib Ali ra, Syeikh Umar Ba Makhromah mengabarkan kepada beliau, "Dzauq‑ku sama dengan dzauq‑mu.”

Berlanjutlah peredaran cikal bakal Habib Ali ra yang mengorbit pada sulbi Habib Husein, kepada sulbi Habib Muhammad, kepada sulbi Habib Abdullah, dan sulbi Habib Syeikh yang dari dalam kuburnya tersebar bau yang amat harum yang keharumannya melekat di tubuh para peziarah hingga mampu mengharumi rumah­rumah mereka. Selanjutnya berpindahlah ia pada sulbi Habib Abdullah, pada sulbi Habib Husein, sehingga pada akhirnya, sampailah ia ke sulbi ayahandanya: Habib Muhammad seorang imam, mufti dan dai ke jalan Allah. Serta ibundanya, Syarifah Alawiyyah binti Husein. Al‑Jufri scorang sayyidah sholihah. 'arifah billah dan yang sangat gemar berdakwah yang memiliki banyak karomah agung.

Maka disambutlah ia oleh sulbi Habib Muhammad, yang dengan karunia dari Allah, Habib Abubakar bin Abdullah Alatas telah memelihara Habib Ali ra semenjak ia masih berada dalam sulbi ayahandanya ini. Dalam kitab Taqjul A’ras karya Habib Ali bin Husein Alatas disebutkan: Habib Abubakar bin Abdullah Alatas memelihara Habib Ali sejak dia masih berada di alam buthin hingga berada di alam zhuhur. Suatu hari beliau berkata kepada Habib Ali, "Ya Ali, sesungguhnya aku lelah memeliharamu sejak kau berada dalam sulbi ayah‑mu.”

Wahai hatiku, aku selalu bahagia tiap mengenang

salaf, yakni keluargaku dan orang‑orang seperti

keluargaku, baik salat maupun kholaf

Dengan mereka hati ini merasa mulia, dimabuk cinta

jika kuingat sifat mereka berderailah air mata.

Sifat mereka membuai orang tak kuasa mensifatkan.

Betapa banyak di antara mereka yang telah

tersingkap sirnya.

Keutamaan, keindahan, dan keelokan,

semua terhimpun pada mereka.

Wahai keluargaku, di sisi Allah kalian memiliki

kedudukan tinggi dan mulia.

Siapa pun masuk dalam benteng kalian

tak akan takut, tak akan jera.

Dan siapa pun ukrab dengan kalian,

memperoleh semua yang berharga.

Beribu salanm dariku ‘tuk kalian selama petir masih

berkilat

Di ambang pintu kalian ku memohon dan kalianlah

sebaik‑baikpemberi orang yang memohon

Aku memiliki hubungan dengan kalian yang

hanya diketahui oleh orang‑orang yang tahu.

Kakekku Muhammad, setelah kukekku, kalianlah

khalifahnva.

Pada diri kalian tersimpan warisan beliau yang sah;

barisan itu, alangkah Indahnya barisan itu;

pandanglah orang yang mengaku berlumur dosa ini,

Jangon abaikan diriku,

dan singkirkan rintangan yang menghadangku!

Wahai keluargaku, tengadahkan tangan, pohonkan

kepada Allah hajat‑hajatku!

Sesungguhnya aku langsung berhubungan dengan

pokok bukan hanya dengan salaf,

yakni ayah yang sangat menyayang anak dari

keluarganya.

Kasihilah kami karena engkaulah

sebaik‑baik orang yang mengasihi.

Lautanmu luas, betapa banyak hamba telah meraupnya.

Sholawat selalu tercurah kepadamu,

wahai yang telah mencapai sifat‑sifat mulia.

Juga kepada keluarga, sahabat dan para pecintamu.

Semoga kami selalu bersama kalian

Tak menyimpang seperti orang yang tlah

Menyimpang

Ya Allah, hamparkanlah keharuman keridhaan‑Mu kepada Habibana Ali, dan anugerahkan kepada kami berkat rahasia kewalian yang Engkau titipkan kepada Habibana Ali.

Jum’at, 24 Syawal 1259 H / 1843 M : HabibAli lahir

Pada hari Jumat tanggal 24 Syawal 1259 1‑1/1843 M, Habib Ali lahir di desa Qosam, Hadramaut Yaman Sel itan. Suatu desa yang penuh dengan cahaya, karena ia dinisbatkan kepada Habib Ali bin Alwi Kholi Qosam seorang wali yang besar dan juga karena banyaknya salaf yang membangun rumah dan mesjid di sana, diantaranya adalah Habib Abdurrahman bin Muhatnmad Assegaf Sang Habib dinamai Ali oleh Habib Abdullah bin Husein bin Thohir guru fattah ayahnya, karena dalam pandangan mata batinnya sang, Habib akan mewarisi hal Habib Ali Kholi Qosam.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan serta curahan kasih sayang kedua orang tuanya. Hingga ketika mencapai usia tamyiz, jiwanya telah dipenuhi dengan cahaya Quran. Dalam usia yang masih belia ini, Habib Ali telah banyak mengalami kejadian‑kejadian aneh, diantaranya saat suatu malam pakaiannya tertinggal di masjid Jami Qosam. Beliau baru teringat saat menjelang tidur. la pun pergi ke masjid dan saat beliau masuk ke dalam masjid tak ditemukan pakaiannya di tempatnya. Tiba‑tiba salah satu tiang di samping beliau terbelah dari dari dalamnya muncul seorang pemuda dengan jenggot tebal, berkulit putih berkata. "Wahai Ali, ambillah pakaianmu ini” Ketika melihatnya tertinggal aku menyimpankannya untukmu." Demikianlah masa kecil Habib Ali' ra, telah tampak tanda‑tanda kemuliaan dan kebesaran dirinya.

1256 H / 1850 M (Usia 7 tahun) : Ayah Habib Ali al‑Habsyi hijrah ke Mekah

Pada tahun 1266 H 1850 M saat itu Habib Ali berusia 7 tahun, ayah beliau melakukan hijrah yang abadi ke Mekkah untuk berdakwah. Ayahnya menyerahkan Habib Ali di bawah asuhan ibunya Syarifah Alawiyah yang tetap tinggal di Qosam.

Sepeninggal ayahnya, untuk memenuhi dahaganya akan ilmu Habib, Ali ra mengunjungi para ulama yang mulia lagi berpengetahuan tinggi yang ada di desa Qosam. Dengan penuh hikmah dan dengan kecerdasan beliau maka banyak ilmu‑ilmu yang mampu dikuasainya dalam usianya yang masih belia. Dalam masa belajarnya, ia banyak menemui kisah kehidupan orang‑orang shaleh dalam buku‑buku salaf, meneliti maqam mereka, dan ia pun melihat akan keadaan dirinya, maka beliau meminta ibunya untuk menengadahkan tangan sambil berdoa, "Ya Allah, berilah anakku Ali maqom fulan.., dan maqam fulan... " sambil Habib Ali ra mengaminkannya.

Melihat keeerdasan dan semangat Habib Ali ra. dalam menuntut ilmu, maka salah satu guru beliau atl-Allamah Sayid Umar bin Hasan bin Abdullah al‑Haddad menyarankan kepada ayah Habib Ali agar Habib Ali ra dipindahkan ke salah satu kota pusat intelektual kaum Alawiyyin, yakni kota Seiwun, sehingga diharapkan beliau dapat memperdalam ilmu Fiqh dan ilmu‑ilmu lainnya.

1271 H / 1855 M (Usia 11 tahun): Habib Ali Hijah ke kota Seiwun

Maka pada tahun 1271 H / 1855 M saat Habib Ali berusia 11 tahun, atas perintah ayalinya beliau berhijrah bersama ibunya ke kota Seiwun. Dalam perjalanan ke Seiwun, beliau singgah di kediaman Hlabib Abdullah bin Husein bin Thohir, di kota Masileh. Ketika itu bergembiralah syeikh ayahnya ini, dan memberikan perhatian kepada beliau. Habib Ali menggunakan kesempatan ini untuk menelaah kitab, mengambil ijazah dan ilbas. Diantara hafalan beliau adalah kitab Al‑Irsyad, Alfiyah Ibnu Malik dan juga mompelajari kitab Al‑Mukhtashar AI‑Kabir atas bimbingannya. Sesampainya di kota Seiwun, beliau ra menimba ilmu pada para ulama di zaman itu

12176 H / 1860 M (Usia 17 tahun) : Habib Ali al‑Habsyi menuntut i1mu di Mekkah

Setelah lebih kurang 6 tahun Habib Ali ra belajar di Seiwun, pada tahun 1276 H 1860 M tepat saat beliau berumur 17 tahun Habib Ali pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu di sana. Hal ini dilakukannya atas permintaan ayahandanya. Inilah pertama kalinya Habib Ali melakukan, safar ke luar Negeri. Beliau pergi ke Mekah bersama rombongan haji ditemani oleh Ahmad Ali Makarim.

Ketika tinggal di rumah ayahandanya, Habib Ali tidak diizinkan untuk tinggal di ribatl, karena ia akan dididik langsung oleh ayahnya dan atau juga para guru yang mendapat rujukan dari ayahnya. la pun tidak diizinkan untuk bertemu dengan siapa saja yang berasal dari Hadhramaut, dan tiap kali Habib Ali mendapat surat dari ibundanya, sang ayah selalu merobeknya. Habib Ali ra memahami sikap ayahandanya tersebut, yang tentunya memiliki maksud agar beliau mampu memfokuskan diri dalam belajar. Beliau juga tidak diizinkan untuk ke luar rumah kecuali untuk menuntut ilmu dan menyuruhnya untuk segera pulang selepas belajar. Habib Ali ra juga tidak dibiarkan duduk bergaul dengan orang lain, dan tidak pula diizinkan untuk masuk ke pasar. Ayah beliau pernah mengatakan, "Aku khawatir kalian berteman dengan orang jahat”

Janganlah bersahabat dengan

mereka yang bertentangan faham

Aku telah saksikan hancurnya seseorang

akibat bergaul dengan yang berbeda faham

Persahabatan dengan orang yang jahat

serba diliputi dengan keburukan

menimbulkan akibat yang membahayakan,

kezhaliman dan kerusakan

Sesungguhnya dibalik sikap keras sang ayah kepada Habib Ali ra. adalah rasa kasih sayang yang tinggi kepada beliau. Dalam kesehariannya, sang ayah justru memperlakukan beliau seperti layaknya teman. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Habib Ali ra, beliau berkata, "Beliau bergurau dengan kami, jika di tangan kami ada makanan, beliau mengambil dan memakannya. Begitu pula jika beliau memegang makanan, maka kami mengambil dan memakannya.”

Habib Ali ra juga berkata tentang ayahnya, "Dahulu beliau sangat memperhatikan pendidikan kami beliau sangat sering mendoakan kami, dan memintakan kami doa dari setiap opang yang ia temui.”

Beliau melindungiku dan dengan kasih sayang mendidikku

Kuberharap perlindungan tetap diberikan

Kepada para putra dan cucuku

Memang ayahanda beliau adalah seorang yang ahli dalam mengajar dan mampu melahirkan generasi dari para ulama dengan berkat didikannya. Diantaranya adalah putera‑putera beliau sendiri. Umpama puteranya al­-mam Abdullah bin Muhammad dan al‑Imam Husein bin Muhammad yang pernah menjadi mufti di Hijaz dan mahir dalam banyak ilmu terutama ilmu hadis. Sehingga beliau digelari Ahli Hadis Hijaz dan keindahan lembah lbrahim. Bogitu juga al‑Imam al‑Allamah Syeikh bin Muhammad yang telah menghafal banyak matan kitab. Dan tentu saja adalah Habib Ali ra, seorang imam yang besar, panji‑panji yang masyhur, yang sebutannya memenuhi segala ufuk dan dicintai oleh ramai orang.

Dari ayahku, Muhammad mufti Hijaz

Kudapat petunjuk tuk menuntut i1mu dan menyampaikannya

Beliau imam yang agung, semoga Allah mensucikan sirnya

Dakwahnya agung berintikan nasihat dan petunjukya

lewat beliau, Allah memberi hidayah sekelompok manusia

Yang karena kebodohannya,

Menjadi jauh dari Allah dan melanggar periwah‑Nya

dengan lemah lembut beliau berdakwah,

mereka pun sungguh‑sungguh menerima nasihatnya

sehingga tersebarlah dakwah keseluruh

penduduk kota dan desa

Selain kepada ayahanda beliau, Habib Ali rajuga belajar kepada Syeikh al‑Allamah Muhammad bin Said Ba Fadhl, dan guru‑guru lainnya seperti 'Arifbillah Syeikh Ahmad Zaini Dahlan, seorang yang mampu melihat hakikat diri manusia, yang memiliki buah karya tulis sebanyak 120 kurroos. Tentang Sayid Ahmad Dahlan, Habib Abubakar Alatas pernah berkata, "Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dipenuhi ilmu. Ia memiliki sumber‑sumber dari tokoh alawiyyin tapi tidak menyadarinya." Kepadanya, Habib Ali ra mempelajari Tafsir Baidhowi dalam pengajiannya sehabis sholat Shubuh. Kitab tafsir itu diberi catatan pinggir oleh Syeikh Zaadal. Kemudian syeikh Ahmad Dahlan menjelaskan dengan mengutip seluruh kitab tafsir yang ada di benaknya. Beliau juga memberikan keterangan dari kitab tafsir Al‑Kabir.

Ada lagi satu gurb Habib Ali ra yang memiliki, perhatian yang besar kepada beliau namun belum disadarinya. Kisahnya adalah sebagai berikut: Suatu hari, ketika Habib Ali masih tinggal di Haramain, datang seorang Darwisy duluk di samping beliau. Sang Habib tidak mengenalnya. Darwisy itu membawa sebuah munaf Quran. "Simaklah bacaanku, " kata Darwisy itu kepada beliau. Darwisy itu lalu membacanya sampai khatam dalam waktu yang sangat singkat. Ia kemudian pergi meninggalkanku. Sesunggulinya Darwisy tersebut adalah syeikh fattah beliau, Habib Abubakar bin Abdullah Alatas. Kelak Habib Abubakar memberitahukan hal ini kepada Habib Ali setelah beliau tinggal di Hadhramaut.

Setiap malamnya di Mekah sana, Habib Ali ra bersama sang kakak, Habib Husein dan juga murid ayah beliau yakni Habib Alwi Assegaf dihabiskan untuk mengulang dan menghafal kitab‑kitab. Diantaranya beliau mempelajari 12 kitab, syarah dari Al‑Minhj lalu menghafal semuanya.

Singsingkan lengan bajumu dan jangan malas

karena kemilasan dapat menyebabkan tertinggal rombongan

dan tak dapat mendengar ajakan kebaikan

Tidak akan sekali hal mencapai kemuliaan

Keculi mereka yang memusatkan

segenap kemampuan untuk mendaki puncak pertemuan

Di situ tempat berhenti orang‑orang yang pergi menuju Allah

Puncak cita‑cita para qutub yang mulia dan wali Allah

Ya Allah, hamparkanlah keharuman keridhaan‑Mu kepada Habibana Ali, dan anugerahkan kepada kami berkat rahasia kewalian yang engkau titipkan kepada Habibana Ali.

1278 H / 1862 M, (Usia 19 tahun): Habib Ali al‑Habsyi kembali ke Hadhramaut

Pada tahun 1278 H / 1862 M, saat Habib Ali berusia 19 tahun, ia dinyatakan lulus pendidikan di Mekah oleh ayahandanya. Genap 2 tahun ia belajar di bawah bimbingan ayahandanya. Maka kemudian, pulanglah beliau ke Hadhratnaut ditemani oleh adik ipamya, Habib Alwi bin Ahmad Assegaf. Ketika beliau memasuki kota Seiwun, semua penduduk keluar menyambut kedatangannya. Sang lbu yang sudah sangat merindukan Habib Ali ra pun menyambut kedatangannya dengan suka cita.

Sepulangnya dari Mekah, beliau telah menjadi ar‑rijal. Beliaa adalah seorang yang berkulit sawo matang diliputi cahaya. Perawakannya tinggi besar, kekar, berdada bidang dan perutnya kecil. Wajahnya bulat berisi, berdahi lebar dan berjanggut pendek. Cambang beliau sedikit dan pendek. Orang yang mengenal beliau tentu mengetahui, bahwa beliau sangat menyukai lagu‑lagu dan irama sama suara seruling dan kendang menyenangkan hatinya. Beliau adalah seorang sufi yang memiliki cita rasa (dzaa‑iq). Jarang ada orang yang cita rasa (dzaa-iq) dan 'minuman" (masyrob)‑nya seperti beliau. Begitulah menurut pandangan orang yang memperhatikan berbagai qosidah beliau yang sarat dengan dzauq dan syuhuud.

Suara nyanyian, menghibur hati

Dengannya, hilang segala duka

Sepanjang siang dan malam Habib Ali tidak bosan‑bosannya mendengarkan qosidah‑qosidah beliau. Hal demikian ini juga dilakukan oleh Habib Abubakar bin Abdurrahman Aseggaf, Habib Abubakar bin Abdullah Alaydrus, Syeikh Umar bin Abdullah Ba Makhromah dan Habib Syeikh bin Ahmad Ba Faqih. Ketika beliau menasihatnya, suara tangis beliau kadang kala terdengar sampai jauh. Demikianlah cirri, sifa dan karakteristik beliau yang tersebut dalam sejarah

Dua atau tiga bulan kemudian Habib Ali ra menikah dengan ibu Abdullah seorang wanita Qosam[1]. Kelebihan makanan dari pesta perkawinan berupa dua piring haris, beliau berikan kepada seorang terhormat di Qosam. Keesokan harinya, Habib Ali ra dan keluarganya tidak lagi memiliki sisa makanan untuk makan siang. Namun Allah tidak membiarkan kekasih‑Nya ini, maka tiba‑tiba Ba Hannan datang membawa makanan di mangkok, "Ini haris untuk makan siang kalian," katanya.

Dikisah, Habib Ali pernah berkata, "Hari ini aku menghadiahkan sebuah jubah kuning kepada Syeikh bin ldrus Alaydrus saudaraku di jalan Allah. Tak lama kemudian Allah memberiku ganti yanh, serupa. Setiap kali aku menginfakkan sesuatu, Allah seketika itu juga memberiku ganti yang lain.

Ya Allah, tolong (kami) dari kholaf (ganti).

Setelah tinggal selama empat bulan di Qosam Habib Ali ra kembali ke Seiwun dan mengambil tempat di masjid Hambal untuk beribadah dan mengajar siang dan malam.

Semenjak beliau memegang Masjid Hambal, masjid ini penuh dengan kebajikan, orang beribadah di situ, menuntut ilmu di situ, dan mendapatkan makanan di situ. Siang dan malam Masjid Hambal makmur dengan dzikir, tilawatil Quran dan pengajian. Para tetangga masjid ini banyak yang menjadi pengusaha, namun mereka semua orang‑orang yang gemar beribadah. Mereka melaksanakan berbagai kebajikan, membaca Quran dan shalat di akhir malam. Di bulan Ramadhan dalam setiap shalat tarawihnya, Habib Ali membaca 10 juz Al‑Quran, sehingga setiap 3 hari khatam Al‑Quran dalam tarawih. Dan di malam Jumatnya dari waktu sahur hingga fajar di masjid itu Habib Ali membacakan kitab Dalailul Khairat (kitab kumpulan sholawat Nabi). Demikianlah kegiatan Habib Ali di Masjid Hambal yang berjalan selama 30 tahun.

Selain menggatakkan ibadah, Habib Ali juga memberikan pengajaran agama di masjid tersebut dan dibanyak tempat lainnya. Disanalah ia menancapkan cita‑cita luhurnya untuk belajar dan mengajar, memberi dan mengambil manfaat. Banyak ahli ilmu. di Seiwun menuntut ilmu kepadanya, bersuluk di bawah bimbingan beliau, serta lulus dari pendidikan beliau. Habib Ali mengantarkan mereka sampai pada apa yang telah ditentukan Allah bagi mereka.

Bahkan terdapat pula diantara pelajar yang datang pada Habib Ali yang dahulu adalah guru beliau seperti Syeikh Muhammad Khatib, guru Habib Ali yang dahulu mengajarkan kitab Nahwu Al‑Ajurumiyah dan Mutammimah. Syeikh Muhammad Khatib belajar kepada beliau Syarah Hamaziah, karya Jamal.

Pernah suatu ketika seorang pecinta Habib Ali, mengikuti pelajaran beliau sambil duduk bersandar di tiang masjid Hambal, dan kemudian tertidur. la bermimpi melihat tiga orang yang wajahnya bak rembulan. Pemimpin mereka memiliki cahaya paling benderang. Si pecinta bercerita, "Orang yang pertama dan kedua berjalan melewatiku, aku lalu memegang orang yang terakhir”

Kalian ini siapa?'

'Orang yang pertama itu adalah Nabi Muhammad saw, yang kedua adalah 'Ali bin Abi Thalib, jawab lelaki yang paling kecil cahayanya.

'Lalu lau siapa?'

`Aku adalah Hasan bin Ali’

'Kalian hendak kemana?'

Kami handak menghadiri pelajaran anak kami 'Ali.’

Selain mengajar dan beribadah Habib Ali ra juga tetap menimba ilmu pada banyak ulama. Di Tanim beliau berguru kepada Sayyid Abdullah bin Husein bin Muhammad, Syeikh Muhammad bin Ibrahim, Al‑'Allamah 'Umar bin Hasan Al‑Haddad dan ulama besar sezamannya yang lain, seperti: Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur Ali bin Idrus Syihabudin dan Imam Umar bin Abdurrahman bin Syahab Beliau sering pergi ke Tarim untuk menuntut ilmu di sana. Walaupun demikian penduduk Tarim dan yang lain menyambut beliau karena mereka melihat tanda kebaikan pada diri beliau. Habib Ali juga menuntut ilmu kepada para sadah yang mulia, seperti Habib Ahmad bin Muhammad Al‑Muhdhar, Habib Ahmad bin Abdullah bin ldrus Al‑Bai, Tmam ldrus bin Umar.

Mengenai Imam ldrus bin Umar al‑Habsyi, antara beliau dengan Habib Ali terjalin cinta sejati dan persahabatan di jalan Allah. Jika dalam hati salah seorang dari keduanya terlintas sesuatu, maka dalam hati yang lain terlintas hal yang sama. Habib Alwi bin Ali al‑Habsyi bercerita, "Suatu hari selepas sholat Subuh, ayahku duduk‑duduk bersama Abu 'Imran, nama panggilan sayid Abdurrahman bin Abdullah al‑Habsyi. Abu 'Imran adalah seorang Majdzub dalam istilah kaum sufi. la saat itu sedang minum kopi. Habib Ali berkata kepadanya, ‘Bagaimana menurutmu andaikata Habib Idrus bin Umar saat Ini ada di antara kita. Kita akan mendapat kemuliaan dengan memandang wajahnya yang bercahaya?'Abu Imran berkata, 'Kendaraan apa yang dapat membawa Habib ldrus bin Umar dari kota Ghurfah ke sini disaat ini? 'Tak lama kemudian Habib ldrus bin Umar datang seorang diri menunggang seekor kuda. Habib Ali bangkit menyambut beliau, lalu mengajaknya duduk. Sedangkan Abu Imran menyiapkan kopi. Habib Ali bertanya, 'Dari mana engkau?'

Dari Ghurfah, selesai sholat aku berkata dalam hati, mengapa pagi ini aku tidak sarapan pagi dengan memandang wajah Ali bin Muhammad al‑Habsyi yang bercahaya?'Jawab Habib ldrus,

'Ya ldrus, tarikan itu berasal dari sini, ' Ucap Abu Imran.

Semoga Allah meridhoi mereka semua dan memberi kita manfaat berkat mereka.

1279H / 1863 M (Usia 20 tahun): Habib Ali menunaikan Ibadah haji

Disaat Habib Ali ra berusia ±20 tahun (1279H / 1863 M), beliau menunaikan ibadah haji dengan cara menghajikan seseorang yaitu Ahmad Sabaya.

1280 H / 1864 M (Usia 21 tahun): Habib Ali kembali menunaikan ibadah haji

Di tahun berikutnya (1280 H / 1864 M) Habib Ali ra (21 tahun) kembali menunaikan ibadah haji bersama Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus dan Said bin Khalifah. Di tengah perjalanan beliau singgah di kota Syihr Di sanalah Ia berjumpa dengan syeikh fattah beliau, Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib Alatas. "Ketika pertama kali bertemu Habib Abubakar jantungku hampir saja copot, kulihat beliau diliputi cahaya, " kata Habib Ali.

Beliau melukiskan pertemuan tersebut dalam ucapannya, " Lelaki ini malaikat atau, manusia! Kataku dalam hati. Setiap kali ada yang terlintas di hatiku, Habib Abubakar mengetahui kemudian menjelaskannya. Aku sangat senang dan gemas dengan Habib Abubakar. Rasanya ingin aku menelan beliau. Aku tak ingat pada keluargaku atau yang lain.

Di dalam pertemuan di kota Syihr ini Habib Abubakar berkata kepada Habib Ali, "Wahai anakku, camkanlah bahwa fath‑mu lerletak pada kitab Ar-Rosyafaat." Di jawab Habib Ali, "Katanya fath‑ku di tanganmu. " Dalam pertemuan itu Habib Ali bertanya tentang ayat 112 surat ath‑Thalaq. Maka Habib Abubakar menjelaskan sampai Zhuhur, dari Zhuhur sampai Asar, lalu dilanjutkan sampai Maghrib, lalu dilanjutkan saat Isya, lalu dilanjutkan sampai tengah malam. Habib Abubakar lantas berkata, "Anakku, kalau aku mau menjelaskan ayat yang kau tanyakan niscaya semua penulis di dunia tidak akan mampu menuliskannya.

Dalam jangka waktu 13 hari Habib Ali akhirnya dapat mengkhatamkan kitab Ar‑Rasyafaat dibawah bimbingan beliau.

Setelah itu Habib Ali beserta rombongan mengikuti Habib Abubakar ke Mukalla. Di tempat ini Habib Abubakar menganjurkan kami untuk menziarahi Nabi Muhammad saw.

"Kalian akan memperoleh sesuatu dari Nabi Muhammad saw." Kata Habib Abubakar kepada Habib Ali dan teman seperjalannya, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus..

Habib Ali ra beserta rombongan kemudian melanjutkan perjalanan, yang akhirnya sampai di Jeddah, dari Jedah beliau ke Mekkah. Setelah beberapa hari di Mekah rombongan beliau pun berangkat ke Madinah. sesampainya di Madinah, beliau langsung berziarah ke kubur Al‑Habib Muhammad saw dipandu oleh MUzawwir (pemandu ziarah) “Karena cahaya dan hudhurnya ziarah hamper saja jantungku berhenti berdeak” Kata Habib Ali. Karenanya sang muzawwir akhirnya ikut berziarah bersama beliau. Muzawwir juga mengikuti Habib Ali ra ke babul malaa‑ikah (pintu malaikat). Di sana Habib Ali menghadirkan Jibril dan Mikail. Kemampuan beliau yang mampu (yaqdir) berada di babul malaa‑ikah di tengah malam menunjukkan tingginya maqom beliau di sisi Allah dan Rasul‑Nya, karena jarang orang yang mampu (yaqdir). Kemudian beliau mengucap salam kepada Sayidina Abubakar ra, kemudian kepada Sayidina Umar bin Khottob ra. Setelah itu beliau menziarahi Hababah Fatimah raa, beliau merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat itu. Karenanya malam itu beliau sama sekali tidak tidur. Dan setiap harinya di kota Nabi ini, beliau mengkhatamkan Ad‑Dalail sebanyak tujuh kali. Di malam harinya, beliau bersama Muhammad al‑Yamani mengkhatamkan Ad‑Dalail sebanyak tujuh kali di Haram. Setelah itu beliau membaca maulid atau Hamaziyah.

Semua itu didorong semala‑mata

Oleh kegandrunganku pada pribadi luhur ini,

Serta kerinduanku tuk mendengarkan selalu

Sebutan sifat‑sifatnya yang serba agung.

Pada hari kesepuluh di siang hari, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus tiba‑tiba menemui Habib Ali ra.

"Nabi Muhammad saw. memerintahkan aku untuk menemuimu." Kata Habib Hasan

"Aku tidak pantas untuk menerima kemuliaan ini" Jawab Habib Ali.

"Kau pantas, " Habib Hasan menegaskan.

Habib Hasan akhirnya menceritakan kejadian yang dialaminya:

Suatu hari, aku keluar menuju al‑Haram seorang diri. Dalam hati aku berkata, "Aku ingin menghadap Nabi Muhammad saw, semoga dari beliau muncul karomah untukku. " Sesampainya di sana aku duduk di hadapan jendela kubur. Tiba‑tiba dari kubur Nabi Muhammad saw, muncul cahaya menjulang ke langit. Cahaya itu kemudian menjelma seorang manusia, ia mengucapkan salam kepadaku,. "Assalamu'alaikum", ya Hasan.

"Wa 'alaikas salam, "jawabku, "Sesungguhnya engkau ini siapa?"

"Aku adalah kekasihmu Muhammad saw" kata beliau dengan menunjukkan rasa sukanya kepadaku, "Wahai Hasan. "Labbaik.

"Apakah kau ingin ziarahmu ini diterima?

"Ya.”

"Apakah kau ingin semua hajatmu dipenuhi?

“Ya”

Jika kau ingin ziarahmu diterima dan semua hajatmu dipenuhi, temuilah Ali bin Muhammad al‑Habsyi, mintalah ijazah darinya, dan ikatlah tali persaudaraan dengannya.

"Marhaba, ", jawabku.

"Aku tidak pantas, tapi tidak mungkin aku menolak perintah kekasihku saw, kata. Habib Ali kepada Habib Hasan.

Habib Ali kemudian memberinya ijazah dan mengikat tali persaudaraan dengannya. Habib Halsan bin Ahmad lalu pergi meninggalkan Habib Ali ra. Tak lama kemudian, Syeikh 'Athiyyah datang menemui beliau dan berkata, "Tadi aku bertemu dengan kekasihku saw dan "beliau berkata kepadaku, 'Temuilah Ali bin Muhammad al‑Habsyi, katakan kepadanya: Jika Tuhanmu telah memenuhi semua keinginanmu, maka doakanlah aku'.

'Insya Allah jika Tuhanku memenuhi semua keinginanku, aku akan mendoakanmu, "jawab Habib Ali.

Demikianlah, banyak lagi pengalaman spiritual yang dialami Habib Ali ra selama di al‑Haram, dimana kejadian ini semakin mengokohkan kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya

“Ya Allah, hamparkanlah bau harum keridhaan‑Mu kepada Habibana Ali, dan anugerahkan kepada kami berkat rahasia kewalian yang engkau titipkan kepada Habibana Ali.”

1281 H / 1865 M (usia 21 tahun): Habib Ali bertemu dengan Habib Abubakar Alatas

Pada tahun berikutnya, 1281 H / 1865 M (Habib Ali berusia 21 tahun), beliau kembali ke Hadhramaut. Beliau menemui Habib Abubakar Alatas di Masjid toha, di kota Huraidhoh. Sesampainya di sana, ternyata masjid telah Penuh. Tetapi beliau bersumpah bahwa tiada yang dilihatnya melainkan Habib Abubakar. Sewaktu melihat kedatangan Habib Ali ra, Habib Abubakar berdiri, menjabat tangan beliau dan berkata, "Selamat datang wahai anakku,'selamat datang al‑Habsyi kami, " Sejak saat itu, pintu mulai terbuka untuk Habib Ali ra. Beliau berteman dengan Habib Abubakar dan mendapatkan perhatian serta perlakuan dengan akhlak yang sangat luhur dari Habib Abubakar. Beliau pun mendapatkan segenap curahan ilmu yang dimiliki guru tercintanya.

Dari guruku Al‑Quthb

Yang kokoh kedudukannya lagi dermawan

Telah kuterima petunjuk, penyingkapan rahasia

Dan berbagai pemberian

Abubakar Alatas pemimpin para wali

Berkat beliau kuraih cita‑cita dan kutakltikkan pendengki

Suatu hati Habib Abubakar bin Abdullah Alatas berkata kepada Habib Ali, "Ketahuilah, kau seperli Habib Ali bin Abdullah As-seggaf, bahkan lebih besar." Dilain kesempatan Habib Abubakar berkata, "Aku telah menghadapkan kau kepada Nabi saw, sebanyak 20 kali. " Habib Ali ra. berjumpa dengan syeikhnya ini hanya dalam hitungan jari dan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama tapi diliputi keberkahan didalamnya.

1281 H / 1865 M (usia 22 tahun): Wafatnya Habib Abubakar Alatas dan Habib Muhammad al‑Habsyi

Pada tahun 1281 H / 1865 M, ketika itu Habib Ali berusia 22 tahun, Habib Abubakar wafat, Tepatnya pada malam Selasa, 17 Dzulqoidah 1281 H / 1865 M. Walau pertemuan Habib Ali ra dengan gurunya tersebut hanya dalam hitungan jari namun buah perjumpaan itu manfaat dan barokahnya tak terhitungkan. Setelah itu beliau membina urusannya berdasar pada pertemuan dengan gurunya itu, dan selalu membicarakannya walau Habib Abubakar telah meninggal sepanjang hidupnya, Habib Ali ra selalu mengingat dan menyebutt Habib Abubakar. Semua ini karena kokohnya hubungan beliau dengan gurunya. Hubungan yang dilandasi dengan perkenalan di jalan Allah, yang hakikatnya adalah makrifat kepada Allah. Seseorang bertanya kepada Habib Ali, "Jiwanmu berisi banyak pujian untuk Habib Abubakar, tapi pujian untuk ayahmu sedikit ". Habib Ali berkata: "Habib Abubakar adalah ayah ruhaniku, sedang ayahku adalah ayah jasmani.”

Beruntunglah orang yang pernah melihat mereka

atau melihat orang yang pernah melihat mereka

atau selalu memiliki ikatan dengan mereka

dan selalu berada di ambang pintu mereka.

Menyusul kemudian ayah beliau, Habib Muhammad bin Husein al‑Habsyi meninggal dunia. Habib Muhammad memegang jabatan mufti di Mekah semanjak tahun 1270 H / 1854 M hingga beliau wafat pada hari Rabu 21 Dzulhijjah 1281 H / 1865 M. Habib Muhammad dimakamkan di Ma'laa di Huthoh saadah Aal Baa alawiy. Diantara peninggalan Habib Muhammad yang diberikan kepada beliau adalah sebuah tongkat yang bertuliskan Ali, sesuai dengan nama beliau. Ayah Habib Ali juga meninggalkan, sebuah kebun di Tarim dan Seiwun yang dinamai Ahmad Said, sebuah kebun yang berasal dari harta yang benar‑benar halal dan buahnya dapat digunakan sebagai obat.

Menyusul kemudian wafatnya saudara seperjuangan Habib Ali, Habib Hasan bin Ahmad Alaydrus. la pernah bertemu langsung dengan Nabi saw, ia juga memiliki beberapa mimpi kasufiyah. Diantaranya, ia pernah bermimpi bahwa sayidina Ali ra berkata kepadanya, "Semua ilmu terkumpul dalam ilmu nahwu. Dan marja' (inti) ilmu nahwu adalah fa'll dan maf'ul" Ketika ia sakit menjelang wafatnya, Habib Ali menjenguknya. Ia berkata kepada Habib Ali, "Wahai Ali ketahullah, ajalku telah dekat, aku akan menemui Tuhanku. Aku ingin memberitahumu apa yang telah disediakan Allah kepadaku. Ketahuilah, Tuhanku telah menunjukkan tempatku di surga.

Sepeninggal guru dan ayahnya, Habib Ali ra segera tampil sebagai kholifah mereka.

(Ajaran) mereka berdua menjadi landasan tujuan thoriqohku

Dan siapa pun yang ingin menempuhnya

Ikutilah cara pendekatanku

Beliau berkata:

Sesungguhnya aku memiliki hubungan dengan kalian (para salaf)

Hubungan yang bagaimana yang beliau maksudkan? Adalah hubungan kekhalifahan dengan segenap maknanya terdapat dalam diri Habib Ali. Beliau menduduki kursi kekhatifahan Rasulullah dan pewaris asrornya. Hubungan yang beliau miliki adalah hubungan yang paling sempurna dan kedudukan beliau adalah kedudukan yang agang. Rasulullah saw berkata kepadanya: "Bukankah aku telah menjadikanmu sebagai kholifahku, wakilku, penggantiku untuk memberi petunjuk kepada hamba‑hamba Allah.”

Dalam diri Habib Ali ra tampak tanda‑tanda pewarisan yang bersambung kepada para salaf yang telah melewatkan usianya dengan selamat.

Beliau pun melanjutkan cita‑cita para guru dan pendidiknya untuk melanjutkan risalah kakek‑kakeknya hingga al‑Musthafa saw. Beliau memberikan ceramah‑ ceramah dan pengajian‑pengajian di hadapan khayalak ramai. Kehidupan beliau hanya digunakan untuk mengajar, memberikan petunjuk, nasehat, mujahadah, dan berdakwah di jalan Allah dengan pena, lisan, perbuatan dan hartanya.

Kepadanya diserahkan tampuk kepemimpinan tiap majelis ilmu, lembaga, pendidikan serta pertemuan-­pertemuan besar yang diadakan pada masa itu. Sehingga dengan cepat sekali ia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang.

Ditengah‑tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah, beliau menikah dengan Hababah Fatimah binti Segaf mulakhela. Dan dari perkawinannya dengan Hababah Fatimah Maulakhela, Habib Ali mendapat 4 anak, yaitu Habib Muhammad, Habib Ahmad, Habib Alwi dan Hababah Khodijah. Berkat pendidikan orang tuanya, mereka semua menjadi anak‑anak yang alim, saleh, dan berbudi pekerti luhur.

1295 / 1879 M(usia 36 tahun): Lahirnya Habib Umar bin Muhammad Mulakhela

Selanjutnya, pada tahun 1295 H /1879 M lahir seorang murid sekaligus ipar Habib Ali yakni Habib Umar bin Muhammad bin Segaf Maulakhela. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk menemani dan belajar kepada Habib Ali ra. la disebut Habib Ali ra dalam syairnya:

Umar adalah anak yang cerdas, mudah faham dan hatinya bak rembulan.

Berkat bimbingan Habib Ali ra, la menjadi seorang yang saleh dan bertakwa. Suatu ketika Habib Ali ra berkata kepadanya, " Wahai Umar, duhai anakku, semoga Allah memberkatimu, tulislah semua yang kau dengar dariku, karena tulisanmu itu akan bermanfaat bagimu dan bagi orang lain. " Maka ia pun menulis ucapan­-ucapan guru beliau, Habib Ali ra, yang kini terkumpul dalam satu buku bernama Jawashirul Anfaas Fii Maa Yurdhii Rabban Naas.

1296 H / 1830 M (usia 37): Habib Ali membangun ribath

Tahun 1296 H / 1880 M, di usianya yang ke 37, adalah tahun dekade baru bagi dakwah Habib Ali ra. Hal ini dikarenakan tahun ini adalah tahun pembangunan ribath yang pertama di Seiwun Hadhramaut. Ribath ini diperuntukkan bagi para penuntut ilmu dari dalam dan luar kota. la menyerupai masjid, memiliki beberapa kamar di lantai atas dan bawah.

Setelah berdirinya ribath tersebut banyak penuntut ilmu yang menuntut ilmu kepadanya, bersuluk di bawah bimbingan beliau, serta lulus dari pendidikan beliau. Habib Ali ra mengantarkan mereka sampai pada apa yang telah ditentukan Allah bagi mereka. Biaya orang‑orang yang tinggal di ribath beliau tanggung sendiri. Siang dan malam ribath ini selalu makmur, ada yang membaca Quran, mengajar, mengahafal, dan ada yang mengulang" pelajarannya, bardzikir, dan berceramah. Setiap kali para santri menyelesaikan pelajarannya setiap kali pula datang orang lain yang menuntut ilmu. Habib Ali ra berkata: Ribath ini kudirikan dengan niat‑niat yang baik, dan ribath ini menyimpan rahasia (sir) yang besar, menyadarkan mereka yang lalai dan membangunkan mereka yang tertidur. Betapa banyak faqih yang telah dihasilkannya, berapa banyak orang alim yang telah diluluskannya. Ribath ini merubah orang yang tidak mengerti apa‑apa menjadi orang yang 'alim.

Murid‑murid beliau diantaranya ada yang datang dari kota Harar, suatu kota yang jauh dari tempat tinggal Habib Ali. Di kisahkan bahwa suatu ketika empat orang dari kota Harar datang menemui Habib Ali ra. Setelah bejumpa, mereka mencium tangan Habib Ali dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mengantar kami kemari. Sekarang jika maut menjemput, kami telah siap. Wahai Tuanku, kami meninggalkan negeri kami tidak lain karena sangat rindu kepadamu. "

“Apakah kalian mengenalku? Bukankah Harar sangat jauh dari sini? " Tanya Habib Ali.”

"Demi Allah, anak‑anak kami tidak bersumpah kecuali dengan Ali Habsyi. Bagaimana tidak, wahai Habib, namamu sangat dikenal di negeri kami. " Mereka kemudian tinggal di ribath dan menuntut i1mu dengan sungguh‑sungguh

Di lain waktu, dikisahkan pula bahwa 'Abduh Bazheir membawa seorang sayid keturunan Syeikh Abubakar bin Salim bernama Husein bin Dar’an, ia berambut gondrong dan berprilaku serta berpenampilan ala badui. Namun, cahaya tobat telah nampak diwajah Sayid Husein bin Dar'an. Setelah sampai di depan rumah Habib Ali, 'Abduh Bazheir berteriak, "Ya Habib Ali aku datang membawa kambing yang sangat besar. Dia adalah seorang sayid dari keluarga al‑Muhdhar bin Seikh Abubakar bin Salim.

la lalu membawa Sayid Husein bin Dar'an menemui Habib Ali ra di tingkat atas.

"Potonglah rambutnya " Ucap Habib Ali ra. kepada orang yang ada di situ. Setelah dicukur, Habib Ali memberinya pakaian putih. la kemudian menetap di ribath, mempelajari Quran. Di Ribath, kepala plontos sayid Husein bin Dar'an sering di tampar anak‑anak. Sayid Husein yang sangat ditakuti berkata dalam hati, "Dulu kalau ada yang berbuat demikian tentu telah melayang nyawanya." Namun ia bersabar. Sayid Husein bin Da'an yang sebelumnya tidak tahu apa‑apa dalam waktu kurang lebih 6 bulan telah memperoleh sir Quran. Syeikh Abubakar bin Salim pernah menemuinya yaqdhatan (dalam keadaan jaga). Jika memperoleh ilham, ia segera menceritakannya kepada Habib Ali, lalu mendiktekannya kepada Habib Umar bin Hamid.

Suatu malam ini menemui Habib Ali ra dan berkata, 'Aku rindu pada Madinah. Aku ingin ziarah ke Madinah malam ini juga. Maukah engkau ikut bersamaku?'

Aku tidak bisa jawab Habib Ali.

Ia lalu pergi ke Madinah al‑Munawarah untuk menziarahi Nabi saw. Dan di waktu Subuh ia telah kembali ke kota, Seiwun dan sholat Subuh berjamaah bersama Habib Ali. Demikianlah murid Habib Ali ra yang memiliki banyak kemuliaan dan karomah yang agung lantas bagaimanakah kemuliaan dan karomah guru yang membimbing mereka?

Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid‑muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta, menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di Hadhiramaut, tapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya, di Aftika dan Asia termasuk di Indonesia. Di tempat‑tempat itu mereka mendirikan pusat‑pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Diantara mereka adalah Al‑Habib Ad‑Da'i 'Alwi bin Segaf Assegaf asal Pasuruan. Beliau adalah salah satu murid terbaik Habib Ali ra. Melalui Habib idwi bin Segaf ini Allah memberikan hidayah kepada banyak orang. Bahkan kota Pasuruan sampai saat ini berbeda dengan kota‑kota lainnya di pulau Jawa, adalah berkat dakwah Habib Alwi bin Segaf ra.

Demikianlah Habib Ali ra, ini bagaikan matahari. Yakni, nur, manfaat dan sikap shidq beliau seperti matahari. Habib Ali telah memberikan manfaat kepada banyak hamba Allah. Setiap hamba memperoleh manfaat dan cahaya beliau ra. Demikian ucap salah seorang muridnya, yakni Habib Abubakar Gresik,

Bersamaan dengan saat pembangunan ribath, Habib Ali ra juga sekaligus membangun rumah tempat tinggal. Ketika mengetahui Habib Ali akan membangun ribath dan rumah, maka ayah Habib Abubakar Assegaf, memerintahkan agar Habib Ali memperluas bangunan rumah dan membaginya menjadi delapan bagian. Beliau pun melaksanakan perintahnya.

Habib Ali ra memiliki rumah yang besar, permadani empuk, kebun yang banyak, kekayaan yang melimpah, pembantu dan pengikut yang banyak. Berbagai makanan selalu tersedia di kamar‑kamar rumahnya. Pemotong hewan tak henti‑hentinya memotong. Tukang, masak selalu sibuk memasak di dapur, kadang kala hingga jauh malam untuk melayani para, tamu. Kuda‑kuda dan hewan lainnnya ditembatkan di halaman beliau yang luas. Semua yang dibutuhkan beliau dan para tamunya tersedia dalam rumah dan sekitarnya. Keadaan ini terus berkembang hingga beliau membangun kemar mandi di lantai kedua rumahnya; sesuatu yang tidak biasa dilakukan di daerah Hadhramaut. Demikianlah kenikmatan yang diberikan Allah kepada Habib Ali ra, padahal sepanjang hidupnya beliau tidak pernah terdengar meminta dunia dalam doanya. Namun dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk, patuh dan halal. Seperti yang dikatakan oleh pecintanya asy‑Syeikh Bakran rhm:

Engkau tlah keluar dari dunia

Hatimu melempar impiannya menuju penglihatan tinggi

Dunialah yang datang kepadamu dengan tunduk dan patuh

Halal, tanpa usaha dan tanpa kehintaan.

"Para petinggi negara, ulama, mursyid, jutawan, menteri, amir, atau sultan tidak memperoleh kenikmatan lahir dan batin serta kenikmatan dunia dan akhirat sebagaimana kenikmatan yang telah diberikan Allah kepada Habib Ali ra." Tulis sayid Abdullah bin Muhammad bin Hamid Assegaf dalam bukunya.

16 Dzulhijjah 1301 H / 1885 M (usia 42 tahun): WafatnyaSyeikh Ahmad Ali Makrim

Pada tanggal 16 Dzulhijah 1301 H / 1885 M saat usia Habib Ali 42 tahun Syeikh Ahmad Ali Makarim wafat. Ia seorang ar‑rijal, Setiap hari ia, membaca 8 juz al‑Quran dalam sholat sebagian besar sambil menangis. Jika Mendengar tentang amal sholeh dalam pengajian Habib Ali, ia segera mengamalkannya. Suatu malam Habib Ali ra mimpi bertemu Habib Abdullah al‑Haddad dan berkata kepadanya, "Doakanlah temanku Ahmad Ali Makarim. Habib Abdullah al‑Haddad berkata, "Aku punya kabar gembira untukmu bahwa ia akan mengakhiri hidupnya dengan husnul khotimah”

1303 H / 1887 M (Usia 44 tahun): Habib Ali membangun Masjid Riyadh

Kemudian di usia 44 tahun, tepatnya tahun 1303 H / 1887 M Habib Ali membangun masjid yang dinamai Ar-­Riyadh. Masjid itu berdampingan dan bahkan menjadi satu dengan ribath. Bagian depan masjid sangat luas, dan beliau membangun 4 kolam yang airnya berasal dari ribath.

inilah Riyadh, ini pula sungai‑sungainya yang mengalir

Yang memakmurkan mereguk segar airya

Yang bermukim tercapai tujuannya

Yang berkunjunn terkabul keinginannya

Mesjid ini dibangun di atas tujuan yang shahih

Maka tampaklah hasilnya

Habib Ali berkata, "Dalam Masjid Riyadh terdapat cahaya, rahasia dan keberkahan Nabi saw. Seorang murid Habib Ali ra yakni Habib Muhammad bin ldrus al‑Habsyi berkata:

Berkata penggubah syair, lembah kebaikan telah penuh

Siapa ingin hajatnya terkabul beri'tikaflah di sekitar Riyadh.

Di Masjid ini diadakan majelis pengajian yang diselenggarakan setiap hari Senin. Pengajian ini dihadiri oleh tanyak orang, suatu pengajian yang agung, karena penuh haibah dan tenang, padahal penuh dengan manusia sampai‑sampai orang yang melewati masjid mengira tidak ada orang di dalamnya, karena para hadirin sangat tenang. Habib Ali ra berkata: "Setiap orang mendengarkan apa yang sedang dibaca. Mereka tidak senang jika ada yang mengajak berbicara. Tak diragukan lagi, bahwa ruh Nabi saw ikut menghadiri Majelis Senin. Dan majelis ini meninggalkan kesan di hati. Kota Seiwun telah diberi Allah berbagai keistimewaan yang tidak terdapat kota‑kota lain.”

Di dalam majelis ini dibaca kitab 6 hadis (Kutubus sittah: Shohih Bukhari, Shohih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Nasai). Biasanya setelah pembacaan hadis, seorang Qari akan membaca satu muqra Al‑Quran dengan bait dan tartil. Kemudian seorang munsyid membacakan qashidah beliau yang indah. Setelah itu, Habib Ali memberikan pengajian agung yang mampu menggerakkan hati dan membuat hadirin meneteskan air mata. Beliau kemudian menutup pengajiannya dengan fatihah yang serba mencakup.

Sayid al‑Fadhil Abdulkadir bin Akhmad bin Muhammad bin Qithban rhm. sering mimpi bertemu Nabi saw, sahabat‑sahabatnya, dan kaum salaf, khususnya Habib Ali bin Alwi Kholi Qosam. Setiap malam Habib Ali bin / Alwi Kholi Qosam tidak pernah absen dari mimpinya. Pernah selama beberapa malam Habib Ali bin Alwi Kholi Qosam mengabjurkan agar beliau menghadiri majelis Habib Ali ra. khususnya majelis malam Jumat dan majelis senin. Habib Ali Kholi Qosam berkata kepadanya, "Jangan tinggalkan majelis Ali Habsyi, meskipun kau sakit.”

Dikisahkan bahwa suatu hari, di Majelis Senin, Habib Ali ra berceramah menganjurkan masyarakat untuk bersedekah. Sekeluarnya beliau dari masjid, seorang lelaki menyusulnya. Ia berkata, "Ini 10 Riyal sedekahku. Pada malam aku sudah menyisihkan 20 Riyal, untuk sedekah. Insya Allah, 10 Riyal sisanya akan segera kuberikan kepadamu.” Demikianlah pengaruh kata‑katanya, begitu menghunjam kokoh dalam hati para pendengarnya. Padahal yang bersedekah tersebut adalah seorang yang berada dalam kesulitan ekonomi, bukan seorang yang berharta, bukan tuan tanah yang menunggu hasil sewa rumahnya, bukan juga seorang pengusaha. Ia hanya seorang terbuka hatinya untuk mendekatkan dirinya pada Allph berkat mendengar apa yang meluncur dari lidah seorang waliyullah.

Habib Ali bin Muhammad al‑Habsyi ra, dialah imam yang nampak padanya bekas‑bekas asror dan kekhalifahan, hingga beliau pun berbicara dengan lisan khalifah. Hingga ketika beliau hendak memberikan ceramah, timbulah suasana khusyu dalam majelis itu. Mereka yang hadir menangis sebelum Habib Ali berbicara. Belum satu kalimat pun beliau ucapkan, namun ruhnya telah berbicara, sir‑nya telah berbicara, hakikat beliau telah berbicara, dan sampai saat ini pun beliau masih berbicara!

Ya Allah, hamparkanlah keharuman keridhaan‑Mu kepada Babibana Ali, dan anugerahkan kepada kami berkat rahasia kewalian yang engkau titipkan kepada Habibana Ali.

6 Robits tsani 1309 H / 1893 M (usia 50 tahun): Wafatnya, Ibunda Habib Ali

Pada tanggal 6 Robiuts tsani 1309 H / 1893 M (Habib Ali berumur 50 tahun) Ibunda beliau Syarifah Alawiyah binti Husein bin Ahmad al‑Hadi al‑Jufri meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat kaum ibror, dan menempatkannya di surga Firdaus yang paling tinggi bersama kaum muqarrobin dan akhyar.

Dikisahkan bahwa suatu ketika, di hari Asyura, isteri Habib Ali ra membuat asidah. Kemudian Habib Ali berkata kepada isterinya, "Bagaimana jika asidah itu kau sedekahkan kepada para syarifah yang membutuhkan, kemudian pahalanya kita hadiahkan kepada ibuku? " Maka isteri Habib Ali menyetujui sarannya. Salah seorang syarifah yang menerima asidah itu merasa gembira, "Karena kesulitan ekonomi, aku tidak pernah membuat asidah selama 20 tahun, " katanya. Malam harinya beliau mimpi melihat ibunya yang sangat bahagia.

"Kepada keduanya berjihadlah (berbaktilah)." (HR. Bukhori, Muslim, Abu Dawud, Ibnu majah, turmudzi, Ahmad, Nasai)

1315 H / 1899 M (usia 56 tahun): Habib Ali dalam menanggulangi kesulitan

Pada tahun 1315 H / 1899 H (Habib Ali berusia 56 tahun) terjadi kemarau panjang sehingga banyak daerah yang dilanda paceklik. Kesempatan ini digunakan Habib Ali untuk memberikan pinjaman dalam agama (qordhon fiddiin) dan mengajarkan kepada orang‑orang yang tertimpa paceklik tentang Tuhan dan Nabi mereka. Selama dua bulan beliau menjamu dan mendidik mereka. "Beliau juga berdoa agar Allah menurunkan rahmat‑Nya hingga berakhirlah wasa paceklik berakhir berkat kemurahan Allah.”

Demikianlah Habib Ali ra, beliau telah menjadikan dirinya sebagai contoh teladan terbaik dalam menghias diri dengan akhlak yang mulia, di samping kedermawanannya yang terkenal di mana‑mana serta kewibawaannya yang merata, baik di antara tokoh‑okoh terkemuka ataupun masyarakat awam, sehingga, setiap kali timbul keruwetan di antara mereka, niscaya beliau diminta tampil ke depan untuk menyelesaikannya. Suatu hari Habib Ali berkata, "Dari gerbang yang satu sampai gerbang yang lain tak ada seorang pun yang bersengketa. Hari­-hari kami di Seiwun berlalu tanpa permusuhan. "

Dikisahkan bahwa ketika seseorang menyelesaikan pelajarannya di kota Seiwun di zaman Habib Ali. Ia kembali ke Tarim. Ia ditanya oleh penduduk Tarim, "Bagaimana kau dapati fulan bin fulan, fulan bin fulan.... " Tanya penduduk Tarim menyebut nama beberapa ulama Seiwun.

Orang itu menjawab, "Aku dapati mereka seperti firman Allah :

"Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam di hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap­-hadapan di atas dipan‑dipan. " (Al‑Hijr, 15:47)

Kamis, 12 Rabiul Akhir 1319 H / 1899 M (usia 56): Habib Umar Mulakhela safar ke Jawa

Masih di tahun 1315 14 / 1899 M, tepatnya hari Kamis, 12 Rabiul Akhir Habib Umar bin Muhammad Mulakhela melakukan safir ke Jawa atas perintah ayahnya. Ketika berpamitan dengan Habib Ali, ia diberi gamis, surban dan kopiah oleh Habib Ali dan memakaikannya sambil berpesan, "Awas, jangan sampai seorang pun yang mengambil salah satu dari pakaian yang kuberikan kepadamu." Habib Ali juga memberikan ijazah berupa wirid sholawat dan dzikir untuknya. Lima bulan setelah melakukan perjalanan Habib Umar kembali ke Hadhramaut. Ketika Habib Umar Mulakhela berada di hadapan Habib Ali ra, berkatalah Habib Ali kepadanya, "Wahai anakku, aku tidak menginginkan sesuatu kecuali Allah mengabulkennya. Allah tidak pernah mengecewakan aku. Dan sebagaimana Allah memudahkan dan membantu kita dalam urusan dunia kita, maka semoga Dia memudahkan dan membantu kita dalam urusan agama kita. Dan semoga Allah selalu memberikan tirai penutup aib kepada kita, juga kepada anak‑anak saudara dan sahabat‑sahabat kita hingga hari kiamat."

Senin, 11 Dzulhijjah 1320 H (usia 61): Habib Ali menyusun doa akhir majelis

Pada malam Senin, 11 Dzulhijah 1320 H, Diusia beliau yang ke‑61 di antara Maghrib dan Isya, Habib Ali ra menulis doa yang biasa dibaca untuk menutup majelis taklim sampai pada kalimat:

Pada malam itu juga, beliau menyempurnakannya.

1327H / 1912 M (usia 68 tahan): Hahib Ali menyusun kitab Maulid Simtud duror

Pada tahun 1327 H / 1912 M ketika Habib Ali berusia 68 tahun, ia menulis kitab maulid yang diberinya nama "Untaian Mutiara (Simthud duror) Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat, dan Riwayat Hidupnya." Ketika menulis maulid ini beliau berkata, "Telah muncul di hari yang penuh dengan kebahagiaan, pujian untuk sebaik‑baik hamba.”

Habib Ati ra berkata:

Dakwahku akan tersebar ke seluruh alam. Maulidku ini akan tersebar ke tengah‑tengah masyatakat, ia akan mengumpulkan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi saw. Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia Al‑Habib saw akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi saw. Munculnya Maulid Simtud Duror di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang‑orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah kepada orang‑orang terdahulu (kaum salaf) yang tidak dapat diraih oleh orang‑orang zaman akhir, tapi setelah maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi saw sangat menyukai maulid ini.

Dikisahkan bahwa salah seorang dari sababut Habib Ali menyelenggarakan maulid. Ia juga menyediakan makanan. Para sahabatnya yang hadir merasa sangat gembira dengan acara maulid itu. Tetapi ada seseorang yang tidak suka dengan acara itu malamnya ia bermimpi bertemu Nabi berjalan ke arahnya bersama para sahabatnya, Ia bertanya, "Hai dak kemana Anda? " Nabi saw berkata, "Kami hendak ke rumah fulan yang sedang menyelenggarakan maulid dan merasa senang denganku. Barangsiapa menyenangiku, maka aku pun senang kepadanya. Barangsiapa mencintaiku, aku pun mencintainya.

Seringkali seseorang membenci Habib Ali ra, dan kadangkala orang yang mendengar ucapan mereka yang memusuhi beliau datang menemui Habib Ali ra, dan berkata, "Doakanlah mereka dengan keburukkan.. " Beliau menjawab, "Tidak! Aku bahkan mendoakan agar Allah memberi mereka hidayah dan memperbaiki kesalahan mereka. " Sejak kecil, beliau tidak pernah memperturutkan hawa nafsunya. Dan beliau pun mengungkap bahwa maqam ini telah dipegangnya selama lima puluh tahun, dan setiap tahunnya selalu meningkat. Betapa besar karunia yang diberikan‑Nya kepada Habib Ali ra tanpa beliau meminta baik dengan hati maupun lisan, akan tetapi Allah telah bermurah kepada beliau.

1328 H / 1913 M (usia 69 tahun): Habib Ali ziarah ke Tarim

Kemudian pada tahun, 1328 H / 1913 M, (Habib Ali berusia 69 tahun), beliau melakukan ziarah ke Tarim. Dalam ziarah itu, Habib Ali memberitahu rombongannya bahwa nanti malam ia akan berziarah khusus dengan keluarga dan anak‑anaknya saja. Ketika akhir malam tiba, keluarlah Habib Ali ra dan keluarganya menuju makam. Pada saat berziarah, Habib Ali berbicara kepada para salaf seakan‑akan melihat mereka. Beliau berkata, “ini adalah anakku fulan dan ini fulan. 'Ketika berziarah ke makam Habib Muhammad Asadullah, Habib Ali monggandeng Habib Alwi dan berkata, 'Ini adalah anakku Alwi yang kau cintai,' lalu berkata kepada Habib Alwi, 'Ini adalah kakekmu, Muhammad Asadullah.”

Hari‑harinya di kota Tarim selain berziarah beliau gunakan untuk berbagai amal kebaikan diantaranya adalah menyelenggarakan maulid di bawah gunung Nu'air, Tarim. Diantara bagian khutbah beliau ketika itu adalah:

Aku mohon kepada Allah, sebagaimana ia telah mengumpulkan kita di tempat yang mulia ini untuk mendengarkan kisah maulid kekasih‑Nya saw, Ia juga akan mengumpulkan kita semua di surga bersama kekasih kita Muhammad saw dan beliau ridha kepada kita. Semoga Allah memasukkan kita dan orang‑orang yang kita cintai dalam kelompok Nabi yang mulia saw dan tidak mengeluarkan kita dari kelompoknya. Semoga Allah memberi kita syafaatnya dan menempatkan kita di tingkatannya dan menjadikan kita sebagai orang‑orang yang meneladani uccpan, perbuatan, amal, niat dan adat istiadatnya. Semoga Allah selalu memelihara hubungan kita dengan kekasih kita Muhammad saw dan memperlihatkan wajah beliau kepada kita di dunia dan akhirat sedang beliau ridha kepada kita.

Jum’at 29 Rabilul Akhir 1329 M11914 M (Usia 70 tahun): Ziarah Habib Ali ke Zanbal, Tarim

Pada hari Jum'at 29 Rabiul Akhir 1329 H, Habib Ali ra berziarah ke Zambal. Di sana terjadi pertemuan agung, dihadiri oleh banyak manusia. Habib Ali, pertama berziarah kepada Sayyidina al‑Faqih al‑Muqaddam, dalam ziarahnya beliau berkata:

Jika hubunganku yang bermakna halus ini

Sah menurutmu berilah aku jawaban

Pada malam harinya, tertulis di lengan kanan beliau dengan sebuah tulisan yang bercahaya:

Engkau adalah Muhammadi.

Habib Ali kemudian menziarahi makam Alwi bin al‑Faqih, kemudian Ali bin Alwi bin al‑Fadih, Sayyidina al Imam Abdurrahman as‑Saggaf, lalu menuju makam Habib Abdullah al‑Haddad. Dalam ceramahnya yang agung setelah ziarah beliau mengatakan, "Pertemuan ini disaksikan, dan tidak diragukan lagi bahwa pertemuan ini dihadiri oleh Rasulullah saw, para salaf dan ahlul ghaib."

Dalam ziarahnya tersebut, walaupun beliau telah bertekad tidak memberitahu seorang pun. Namun belum sampai beliau ke Tarim, orang‑orang telah berdatangan dari segala penjuru, sehingga wadi bergerak, bahkan jagad ini pun ikut bergerak karena bergeraknya para wali ke satu titik, untuk turut berziarah bersama al‑Quthb, Habib Ali al-Habsyi. Manusia membanjiri Tarim tanpa ada yang mengundang. Habib Ali hanya mengatakan, “Ini adalah kehendak Allah Ta’ala, kita tidak dapat dapat berbuat lain kecuali ridha. Aku yakin, Allah tidak akan mengumpulkan mereka, kecuali bermaksud memenuhi hajat-hajat mereka.”

Demikianlah Habib Ali bin Muhammad al‑Habsyi, tidak beliau memasuki suatu kota kecuali penghuninya, dewasa maupun anak‑anak, mengelu‑elukan kedatangannya, seluruh penduduk di berbagai tempat: di Jawa, India, Swahili, dan Somali, senang menyebut Ali Habsyi. Orang‑orang itu tidak beliau kenal, mereka juga tidak mengenal beliau, bahkan mereka sama sekali tidak pernah melihat Habib Ali, orang zaman ini pun tidak pernah melihat Habib Ali, namun kita dan mereka senang untuk menyebut Ali Habsyi. Sejatinya beliau ra adalah seseorang yang tidak menyukai sambutan‑sambutan dan kerumunan orang di sekitarnya. Namun yang disukainya adalah kesendiriannya bersama Tuhan.

Maka layaklah diceritakan beberapa kisah para pecinta Habib Ali ra yang berada dalam tempat‑tempat yang jauh, namun karena dorongan kerinduan untuk berjumpa, menyebabkan mereka meninggalkan negerinya tuk, menjumpai Kekasilinya.

Pada malum Selasa 10 Shafar 1322 H/1917 M ketika sedang menghadiri rauhah di rumah Sayid Umar bin Hamid As‑Seggaf datanglah seorang Somalia. la mengatakan: "Aku meninggalkan negaraku tidak lain untuk bertemu Habib Ali.”

Pernah juga seorang Darwisy sholat sebagai makmum Habib Ali. Selepas sholat, Habib Ali berjalan ke luar dan Darwisy itu mengikuti beliau lalu berkata, "Berhentilah”

“Kau siapa? " Tanya Habib Ali.

"Aku seorang. Darwisy. Aku sengaja menemuimu untuk mengambil bekal dengan memandangmu, setelah itu aku akan pergi." Darwisy itu memandang Habib Ali, lalu meminta ijin untuk pergi. la pergi tanpa meminta bekal atau apapun. la hanya memandang Habib Ali.

Dikisahkan pula, seseorang berziarah ke Madinah bersama ayahnya. Ketika mereka duduk di masjid, di depan kubur Nabi saw. salah seorang penjaga kubur datang lalu duduk di hadapan mereka.

"Apakah kalian sudah?" Tanya dia

"Ya" jawab mereka

"Apakah kalian dari hadbramaut?"

"Benar"

"Apakah kalian kenal sayid Ali Habsyi?"

"Ya. Kota kami dekat dengan kotanya."

"demi Allah, apakah kalian mengenalnya" ulangnya sambil mencucurkan air mata.

"Ya" jawab mereka.

"Tolong, jika kalian berjumpa dengannya sampaikan salamku dan ciumkan tangannya untukku, katakan kepadanya bahwa pembantunya, penjaga kubur Nabi, meminta doa darinya."

"Insya Allah kami akan menunaikan amanatmu." Kata sang ayah. "Namun, ceritakanlah bagaimana kau mengenal sayid ini."

"Demi Allah, wahai tuanku, sesungguhnya setiap hari aku melihatnya di kubur kakeknya al‑Musthafa saw, namun aku tidak mampu mendekatinya dalam keadaan itu. Bukankah ia memiliki sifat seperti ini..., seperti ini..." la mulai mensifatkan Habib Ali dengan tepat.

Setelah mereka kembali ke Hadhramaut, sang ayah bertemu dengan Habib Ali di Tarim, di majelis yang dihadiri Habib Ahmad bin Hasan Alatas. Habib Ali berkata, kepada sang ayah , "Apakah kau bertemu dengan temanku, si penjaga kubur nabi?”

"Ya, ia mengucapkan salam kepadanmu ia minta doa”

Pada malam Kamis tanggal 21 Sya'ban tahun 1326 H datang seorang lelaki dari Kenya dengan anaknya berumur 10 tahun ke rumah Habib Ali. Ia muncium tngan dan menangis karena telah bertemu Habib Ali.

"Al‑Hamdulillah.... Segala. puji bagi Allah yang telah memperlihatkan kepadaku wajahmu yang mulia sebelum, ajal menjemputku. Semoga, Allah mengumpulkan aku ke dalam kelompokmu di hari kiamat kelak." Kata lelaki itu. "Aku datang dari Swahili hanya untuk memandang wajahmu dan mendapat keberkatan darimu. Jangan sampai usahaku sia‑sia tanpa mendapat doamu, Sayidi. Aku pergi bersama anakku ini agar dapat kau usap tubuhnya dan kau doakan. Sebab, anak ini setelah mendengar beritamu, setiap hari berkata: aku ingin bertemu habibi Ali Habsyi." Habib Ali lalu mengusap dada anak itu dan mendoakan dengan keberkahan.

Wahai pembaca, perhatikanlah kata-kata “Semoga Allah mengumpulkan aku kedalam kelompokmu di hari kiamat kelak”, sungguh berita ini telah tersebar karena memang Allah menginginkan demikian. Sungguh berita ini telah tersebar karena memang Allah menginginkan demikian. Suatu berita gembira dari Rasulullah saw yang telah menemui Habib Ali pada tanggal 13 Ramadhan. Dalam pertemuan itu selepas Rasulullah membalas salam lantas berkata kepada Habib Ali, "Amalmu dan amal teman‑temanmu diterima Allah." Begitu pula ketika seseorang menceritakan kepada Habib Ahmad bin Hasan Alatas bahwa la bermimpi melihat secarik kertas diedarkan. Di atas kertas itu tertulis, "Wahai Ali, relakah amalmu dan semua amal sahabatmu diterima Allah?" Habib Ahmad bin Hasan Alatas berkata, "Ya Habib Ali, semoga aku termasuk sahabatmu."

"Kalian semua adalah sahabatku." Kata Habib Ali. Semoga Allah menjadikan kita sahabat beliau yang sejati, memasukkan kita dalam benteng beliau, dan mengumpulkan kita bersama beliau ra.

Minggu, 20 Robiuts Tsani 1333H / 1918 (Usia 74 tahun): Habib Ali wafat

Habib Ali bin Muhammad al‑Habsyi, seorang sayid yang menyebabkan Allah merahmati hamba‑hamba‑Nya, yang semenjak kecilnya beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah; dimana malaikat kiri tidak mencatat Satu pun keburukannya sebab seluruh waktunya dihabiskan untuk beribadah, berdakwah kepada Allah dan menyebarkan rahmat pada semua hamba‑Nya; pada waktu Zhuhur, hari Minggu, 20 Robiuts tsani 1333 H / 1918 M ruh beliau yang suci terbang menuju illiyyin. Dan waktu Ashar keesokan harinya, jenazah beliau diantarkan ke kubur dalam suatu iring‑iringan yang tiada awal dan akhirnya, Setelah sholat jenazah di halaman masjid Riyadh yang diimami oleh anak dan khalifah beliau, Habib Muhammad bin Ali al‑Habsyi, jenazah beliau dikebumikan di sebelah barat masjid Riyadh.

Perjuangan, dakwah, pendidikan dan syiar Habib Ali tidaklah turut terkubur dengan wafatnya beliau. Namun perjuangannya, dakwah, pendidikan, syiar dan ajarannya tetap lestari karena keturunan dan murid‑murid beliau tetap meneuskannya. Hingga kini pun kita masih dapat merasakan, atsarnya. Hal ini terabadikan dalam bait syair susunan Habib Abdulkadir bin Umar Mulakhela sebagai berikut:

Keturunanmu (wahai Habib Ali bin Muhammad al‑Habsyi) adalah sebaik‑baik keturunan, bersama mereka telah tumbuh dan berkembang tempat‑tempat mulia.

Maka semua hak‑hak mereka terpelihara dan

tanda‑tanda mereka terjaga

serta rahasia‑rahasianya tersimpan padanya

Sesungguhnya kita berada di Solo, sama dengan di Seiwun

yang, tercinta, di Riyadh kita terjamin

Dan dibawah naungan Zawiyah yang bertabur cahaya,

kedudukan yang mulia serta sumber ilmu yang mengalir

disana terdapat pelajaran-pelajaran serta pendidikan orang-orang mulia yang bermanfaat dan berguna bagi muslimin

Teringat olehku pada masa lampau bersama AI‑Habib Alwi

bersama keluarganya dalam taman yang indah dan berkecukupan

Hatiku menjadi rindu dan air mataku bercucuran

dan cukupkah bagimu dengan mencucurkan air mata?

Kebaikan‑kebaikan itu semua dari ayah Al‑Habib Anis

Jika aku hendak menghitungnya maka sulit bagiku dari mana

aku hendak memulainya.

Pada penerusnya yang diberkahi yang telah berjalan

Pada jejak orang‑orang mulia, beliau mengikuti

Itulah Al‑Habib Muhammad Anis yang mana dengan keridhoan

dan kebenaran serta kebenaran mulia beliau terlindung,

telah mendapat banyak perhatian dari leluhurnya

mereka adalah penolong bagi mereka yang takut.

Dan dahulu telah aku uji kemurniannya

dan aku dapatkan kemurnian itu benar‑benar berkilau

Beliau seorang yang cerdas, dermawan, ahli ibadah, tawadhu,

beliau sangat mencintai para solihin

Ya Tuhan kami, jagalah dia dan lindungilah kami dengan berkat beliau

dan leluhurnya dan dengan siapa yang kami harapkan syafaatnya

Amin.

Jakarta, April 2008 M / Robi'uts Tsani 1429 H



[1] Dari perkawinannya dengan wanita Qosam beliau mendapat anak yang dinamainya Abdullah