Sabtu, 19 Maret 2011

Duduk Di Majelis Kaum Arifin

Tidak ada yang lebih bermanfaat dari bersahabat dengan orang 'arif karena ia akan membantumu mendapat kebaikan yang banyak. Bila kau bermaksiat, ia akan membuatmu tobat. Bila kau melanggar larangan ia akan mengembalikanmu ke jalan yang benar. Bila kau lalai, ia akan memintakan ampunan untukmu. Seorang saleh berkata, "Di hari kiamat nanti kau akan mendapati bukumu penuh dengan kebaikan. Kau berkata, "Aku tidak pernah melakukan kebajikan itu?!" Lalu dikatakan kepadamu, "Sesungguhnya kau tidak melakukan itu, tapi syeikhmu atau saudara seagamamu yang melakukannya."
Imam Ali Habsyi berkata: Tidak akan ada yang bersedia memikul beban kita kecuali kaum shalihin. Kalau kalian dapat menguatkan ikatan hati kalian dengan mereka, sungguh beruntung kalian! Majelis yang indah adalah majelis yang di dalamnya disebut-sebut nama Allah, Rasul-Nya dan kaum 'arifin. Bila kedekatan dan pertemuan dengan kekasih terlewatkan, maka dengan mengingat mereka dapat mengusir kesepian, bila hujan deras tak terjadi, maka rintik hujan pun dapat menghidupi hati yang mati. Terkadang kau merasa capai dengan orang-orang yang ada di sekelilingmu kemudian datang orang lain memikulkan beban di punggungmu. Ibarat karat ditumpuk dengan karat, maka menjadi sulit menghilangkannya. Allah sebagai saksinya, di masa hidup Habib Idrus bin Umar, jika aku dirundung kesedihan dan badan terasa tidak bersemangat, aku segera pergi ke rumahnya, maka hanya dengan pandangannya saja hilanglah segala yang menggelisahkanku, seakan aku baru terbebas dari belenggu. Inilah yang dimaksud dengan majelis yang menghidupkan hati dan menghilangkan kegelisahan. Imamul Haddad berkata dalam sebuah bait syairnya, "Engkau harus memiliki seorang syeikh yang selalu engkau ikuti jejaknya. Pilihlah mereka dari kalangan yang berhati bersih untuk menuju keapda Allah."Imam Ali Habsyi berkata: "Barangsiapa di zamannya tidak pernah bersahabat dengan seorang syeikh yang arif dan kokoh. hidupnya berlalu begitu saja sedangkan ia termasuk orang-orang yang bangkrut." Seorang arif mengatakan: "Barangsiapa yang tidak pernah memandang wajah orang yang beruntung pasti ia tidak akan beruntung." Karena pandangan seorang auliya mampu menembus hati, dan bila ia telah menembus hati akan menghasilkan bibit, bibit itu akan selalu tumbuh dan tumbuh, ia mendapat siraman dari curahan rahmat Ilahi hingga orang tersebut menjadi pribadi yang didekatkan oleh Allah SWT berkat pandangan aulita tersebut. Seorang arif bersyair, "Satu pandangan darinya bila memang mengenai seseorang. melalui pandangan kasih sayang, atas izin Allah pasti dapat menghidupkannya. Imamul Haddad berkata: "Para pembimbing manusia beruntunglah orang yang melihat mereka dan duduk dengan mereka meski sekali seumur hidup." Karena mereka para guru (masyayikh) itu ibarat permata merah. Apabila mereka telah memberikan pandangan pada seseorang niscaya mereka memberinya keberkahan dan rahmat, dan bila seseorang melihat mereka ia dapat mengambil manfaat cahaya mereka dan mengambil cahaya itu hingga cahaya-cahaya tersebut menyelimutinya kemudian mencapai sisi Allah SWT, dan mengentasnya dari kelalaian dan kemaksiatannya. Dikisahkan oleh Imam Ali Habsyi bahwa di masa dahulu ada seorang lelaki yang sejak kecil selalu bermaksiat. Suatu hari ia berjalan melewati rumah seorang wali. Ia melihat pintu rumah sang wali terbuka. Ia berkata dalam hati, "Aku ini sejak diciptakan Allah selalu bermaksiat. Sedangkan sang wali itu, ia sejak diciptakan Allah selalu taat. Aku ingin masuk ke rumahnya dan MEMANDANG tubuh yang taat itu dari ujung kaki hingga ujung rambut, semoga di hari kiamat kelak aku memperoleh syafaatnya." Ia lalu ia masuk ke rumah itu. Saat itu sang syeikh sedang berdiri di depan pintu. Lelaki itu lalu memandang sang syeikh dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah itu ia pergi. Baru beberapa langkah ia bertemu dengan salah seorang murid sang syeikh tadi. Mengapa kau pergi meninggalkannya?" tanya si murid.

"Aku hanya ingin menatapnya. Kukatakan pada diriku semoga dzat yang taat itu memberi syafaat kepada dzat yang suka maksiat ini."

Si murid lalu menemui sang syeikh dan berkata, "Apakah tadi ada seorang lelaki datang menemuimu?"

"Ya, ia berhenti di pintu kemudian pergi begitu saja," jawab sang syeikh.

"Aku juga melihatnya meninggalkanmu. Kutanyakan mengapa ia berbuat demikian, ia lalu menjelaskan alasannya," kata si mruid menjelaskan alasan si lelaki.

"Benarkah ia berkat demikian?"

"Benar"

"Kalu demikian, tidak ada yang pantas memegang sir-ku kecuali dia. Panggillah dia!"

Si murid lalu mencari mencari dan bertemu dengannya di pasar.

"Cepat ke mari, kau akan memperoleh sesuatu tanpa harus bersusah payah." ajak si murid.

Sang syeikh kemudian memberikan sir-nya. Lelaki itu akhirnya menjadi khalifah sang syeikh dan menggantikan kedudukannya untuk mendidik murid-muridnya.

Begitulah para masyayikh yang sejati, mereka laksana tiang utama bagi pencari jalan akhirat, tiang penegak agama, sumber turunnya rahmat, dan tiang penegak hidayah. Sebagaimana kata pepatah: "Bersimpuh dihadapan ulama lebih utama daripada belajar tanpa guru."

Dahulu ada seorang ayah yang saleh yang mengajarkan anak-anaknya untuk selalu memandang wajah orang saleh dan duduk di majelisnya. Pilihan sang ayah jatuh pada Al-Habib Anis seorang Habib yang dalam pandangannya beliau memliki hati yang benar-benar murni. Sang Ayah berkata, "Coba kalian hitung ada berapa andeng-andeng di wajah Habib Anis? Jika tepat jawabannya maka abah akan berikan hadiah." Kemudian saat tiba majelis rouhah anak-anaknya selalu duduk di majelis Habib Anis sambil menatap wajah beliau yang selalu diliputi senyuman untuk mencari tahu berapa jumlah andeng-andeng di wajah beliau. sepulangnya jawaban mereka beragam. Ada yang bilang satu, ada yang bilang dua ada yang bilang tiga dts. Namun jawaban semua disalahkan oleh sang ayah sambil memotivasi untuk kembali hadir di majelis Habib Anis untuk kembali mencari jumlah yang tepat. Sampai pada akhirnya sang ayah menjelaskan bukan kuisnya yang penting tapi menatap wajah Habib Anis yang penting, duduk di majelis beliau yang penting dengannya keberuntungan seseorang telah dekat.... lantas sang ayah pun memberikan hadiah yang dijanjikan kepada mereka.

As-syeikh al-Imam Ali bin Abubakar as-Sakran berkata: "Sesungguhnya as-Syeikh Muhammad bin Hasan al-Bajali termasuk ulama besar di Yaman, pernah suatu saat ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhamma dsaw." Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa dalam mimpinya itu ia bertanya kepada Nabi Muhammad saw: "Wahai rasulullah, apakah amalan yang terbaik untuk aku lakukan di zaman ini?" Nabi Muhammad saw menajwab: "Sebaik-baik amal kebajikan di masa kini ialah engkau bersimpuh dihadapan seorang wali Allah baik ia masih hidup atau sudah wafat meski sejenak -- yakni seperti memerah susu kambing atau memecah sebutir telur --- hal tersebut lebih baik daripada beribadah sampai tubuhmu terpotong-potong." Perhatikanlah hal ini, karena seorang wali senantiasa hatinya mendapat curahan pandangan ilahi, dan bila seseorang memiliki hubungan dengan para auliya, atau mencintai para auliya, atau dicintai para auliya, atau memiliki ikatan hati dengan mereka, atau mengahdiri ajelis-majelis mereka, niscaya ia akan mendapat percikan pandangan Ilahi sesuai dengan kesiapan hatinya.

Dikisahkan oleh Imam Ali Habsyi bahwa Syeikh Muhamamd al-Ghimri dan Syeikh Abu Madyan belajar kepada Syeikh Ahmad Az-Zahid. Syeikh Muhammad Al-Ghimri butuh 10 tahun baru memperoleh fath, sedangkan Syeikh Abu Madyan hanya butuh 3 hari untuk memperoleh fath. Ketika ditanyakan hal tersebut, "Syeikh Ahmad menjelaskan, "Abu Madyan datang membawa kain dan batu api, maka aku tinggal menyelakannya. Sedangkan al-Ghimri datang tidak membawa apa-apa, jadi aku harus mencarikan kain dan batu api, baru kemudian menyelakannya."

Persiapan seseorang tidaklah sama, sebagian orang memang memiliki persiapan besar, dan persiapan besar itu sendiri tidaklah sama. Sebagian orang memiliki persiapan besar dalam arti hatinya senantiasa besar hingga dapat menyerapkebaikan yang besar. Oleh karena itu para ulama mengatakan: "Hati semacam ini langsung mendapat kebaikan kemudian berkembang luas dalam hatinya hingga langsung menajdikannya sebagai seorang wali, ada yang mastur ada yang masyhur. Tetapi bagaimanapun juga bagian dari rahasia itu masih senantiasa dibagikan oleh pembaginya yaitu Nabi Muhammad saw.

Imamul Haddad berkata: Menjalin persahabatan, bergaul dan sering-sering duduk bersama para ahli agama dan ahli kebaikan, dari kalangan orang-orang yang berilmu dan ebramal serta para hamba Allah yang shalihin, adalah sesuatu yang amat disukai dan amat dianjurkan. Sangat banyak manfaat dan faedahnya, yang segera maupun yang akan datang kemudian, seperti dapat diketahui dari berbagai hadis-hadis dan atsar. Namun mereka yang melakukan itu dan mementingkannya, berbeda-beda dalam niat, tujuan dan harapan yang mengiringinya.
Satu, Yang paling utama dan paling tinggi tingkatannya, ialah orang yang sering-sering duduk bersama dan bergaul dengan kaum ulama dan shalihin dengan tujuan belajar dari ilmu mereka, bertingkah laku seperti mereka serta menyaksikan akhlak mereka yang mulia, sifat-sifat mereka yang terpuji, amal-amal mereka yang sahih dan ucapan-ucapan mereka yang baik. Yang kemudian semua itu ia teladani dan memaksa dirinya sendiri agar juga menyandang sifat-sifat itu dan bertingkah laku serta beramal saleh seperti mereka itu. Tiada niat dan tiada tujuan selain itu, tiada kegiatan dan tiada usaha sungguh-sungguh kecuali untuk itu. Tujuan inilah yang akan menyampaikannya pada kedudukan dan pekerjaan yang lebih agung, lebih utama dan lebih mulia dibandingkan semua pekerjaan yakni membaktikan dirinya untuk ilmu dan agama Allah. Inilah tingkatan sahabat-sahabat mereka dan teman duduk mereka yakni tingkatan ulama dan sholihin. Dikisahkan, Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahr Al-Jufri, beliau yang saat itu masih kecil, selalu mendnegarkan dengan sungguh-sungguh semua pelajaran yang disampaikan gurunya yakni Habib Umar bin Zein bin Smith. Setiap kembali ke rumah dari pengajian, kesan-kesan pengajian selalu tampak pada perilaku beliau. Beliau tiada henti-hentinya menuntut ilmu kepada sejumlah ulama sholihin di zamannya dan duduk bergaul dengan mereka, meniti jejak para salafnya, dan selalu berpegang teguh pada sunnah kekasihnya al-Musthafa saw. Sampai datang seseorang yang mengecilkan perjuangannya tersebut dengan mengatakan, "Kau hendak kemana, wahai Hasan. Jangan bebani dirimu. Ilmu semacam itu telah lenyap, jalan semacam itu telah sirna dan ahlinya pun telah meninggal dunia." Ucapan yang mengecilkan hati ini, justru menjadi cambuk bagi Habib Hasan yang makin membangkitkan semangat dan semakin merindukan jalan salafnya. Tak terbilang bagaimana mujahadah beliau dalam mengikuti jalan para guru dan salafnya, salah satunya yakni apa yang diungkapkan Habib Ali Habsyi ketika menjelaskan contoh amal para salaf, beliau berkata "Adapun dari ulama di zaman akhir ini, Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr al-Jufri (di dalam shalatnya) mengkhatamkan Quran dalam rakaat pertama dan pada rakaat kedua membaca 90.000 surat al-Ikhlas." Berkat kegigihannya bergaul dengan ulama dan sholihin yang diiringi dengan niat untuk meneladani jejak mereka maka jadilah ia rujukan zamannya dalam ilmu zhahir dan bathin. Dikatakan bahwa tidak ada seorang alim, pelajar atau sufi di hadhramaut yang tidak pernah belajar kepada beliau. Kemajuan ilmunya yang sangat pesat membuat beberapa guru beliau berbalik menajdi muridnya, di antaranya adalah Syekh Abdullah bin Sa'ad yang kemudian belajar kitab Awariful Ma'arif, Risalatul Qusyairiyah dan Syarhul Hikam. Oleh masyarakat Habib Hasan digelari Al-Bahr yang bermakna lautan karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Meskipun beliau melakukan banyak sekali kegiatan ibadah dalam bidayahnya, beliau dengan rendah hati berkata: "Namun sekarang, aku mengurangi segala sesuatu. Kekerasan hati dan kelalaian telah mengalahkanku sehingga tidak ada lagi yang tersisa padaku selain tawakkal kepada Allah, serta prasangka baik kepada-Nya dan pada sifat-sifat-Nya yang Pengasih dan Penyayang. Adapun amal-amalku semuanya buruk. Jika ada amalku yang baik, maka itu berkat kemurahan, rahmat dan karunia Allah." Habib Abubakar bin Abdullah bin Thalib al-Aththas berkata tentang guru futuhnya ini, "Suatu malam aku melihat surga dan para bidadarinya di bagian bawah rumah Habib Hasan. Aku lalu mendengar beliau berkata: "tujuanku bukan 'tuk memperoleh istana dan bidadari, namun cita-citaku adalah tersingkapnya semua tirai yang menutupi."
Demikianlah salah satu contoh seseorang yang duduk bergaul dengan ulama dan shoolihin dengan tujuan untuk meneladani jalan mereka hingga tercapai apa yang menjadi tujuan.
Lihat pula Habib Ali bin Muhammad al-habsyi,di waktu kecilnya, ketika membaca kehidupan orang-orang saleh dalam buku-buku salaf, meneliti maqam mereka, dan melihat dirinya, maka ia pun berkata kepada ibundanya, "Bu, katakanlah: ya Allah, berilah anakku 'Ali maqam fulan ... dan maqam fulan ....' Beliau berdoa dan aku mengaminkan. Doa kedua orang tua akan dikabulkan Allah, dan ibuku adalah seorang shalihah. Ia pun menyingsingkan lengan bajunya, bergiat-giat menuntut ilmu dan beramal dengan penuh kesungguhan dan meninggalkan kebiasan buruk. Suatu ketika di akhir malam ayahanda Habib Ali mendapati beliau dan saudara-saudaranya masih dalam belajar dan menghafal. Ayahnya berkata, "wahai anak-anakku, kalian masih belajar? Semoga Allah memberkahi kalian." Habib Ali dalam nasehatnya berkata, "Pantaskah penuntut ilmu di antara kita tidur di siang hari, atau tidur sebelum pertengahan malam? Pantaskah ia melewatkan umurnya tanpa membaca satu buku pun yang bermanfaat hingga selesai? Pantaskah kita menelaah buku dengan hati yang lalai?" Dengan gigih ia beramal dan menempuh jalan salafnya tapak demi tapak. Suatu jalan kebenaran (thariiqul haq) yang bersanad, sambung menyambung secara terinci dari ayah dan guru-gurunya terutama al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Aththas sampai pada makhluk terpuji dan sebaik baik pemuji yakni baginda Rasulullah saw. Beliau memusatkan segenap kemampuannya hingga beliau pun mencapai tempat orang-orang yang pergi menuju Allah, tempatnya para qutub yang mulia dan wali-wali Allah. Habib Umar bin Hafidz berkata dalam ceramahnya di kediaman al-habib Anis: Kalian memiliki penghubung yang dapat menyebabkan doa kalian terkabul, yaitu kebesaran (Habib) Ali bin Muhammad al-Habsyi, anak beliau Alwi, guru beliau Abu Bakar bin Abdullah Al-attas, ayah beliau Muhammad bin Husein al-Habsyi dan para syekh yang mulia yang memiliki kedudukan yang tinggi. Langit mengenal haibah (wibawa) mereka dan para malaikat mengetahui kebesaran mereka. Mereka adalah pewaris Muhamamd al-Musthafa, baik yang mastur atau yang masyhur. Wajah mereka yang mulia memantulkan cahaya beliau saw, sehingga tak seorang pun memandang mereka kecuali segera mengetahui bahwa mereka adalah para kekasih Allah Yang Maha Esa, bahwa mereka adalah orang-orang yang telah memperoleh karunia Allah, para pewaris Nabi Muhammad saw.
Dua, Ada pula orang yang sering-sering duduk bersama dan bergaul dengan kaum ulama dan shalihin, semata-mata disebabkan kecintaan kepada mereka dan kepada perilaku mereka yang selalu mendahulukan agama Allah, menegakkan aturan-aturan-Nya, menyibukkan diri dengan ketaatan pada-Nya, yang berupa ilmu-ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia ataupun amal-amal yang saleh dan sebagainya. Ia mencintai mereka karena itu semua, ingin selalu bergaul dengan mereka, menirukan tingkah laku mereka serta menuntun dirinya sendiri agar berbuat dan berakhlak seperti mereka, sekedar yang dimungkinkan oleh kelapangan waktunya dan dimudahkan oleh keadaannya. Ia pun menyesali dirinya atas segala yang tidak mampu ia lakukan seperti yang mereka lakukan, dan sangat menginginkan sekiranya ia beroleh taufik dan kesempatan untuk itu. Atas diri orang-orang seperti inilah berlaku hadis Nabi saw: Seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang ia cintai. dan sabda beliau: Barangsiapa meniru tingkah laku suatu kaum, maka ia termasuk dari kalangan mereka. Habib Umar berkata: “Bila anak-anak kalian memiliki gelar dan pekerjaan, maka perintahkan agar mereka bertakwa kepada Allah dalam pekerjaan mereka. Gelar dan pekerjaan tidak diharamkan, tapi perintahkanlah anak-anak kalian untuk memelihara salat, menuntut ilmu agama di mesjid atau pesantren di antara Maghrib dan isya. Perintahkanlah mereka belajar agama di waktu Ashar, dan anjurkan mereka untuk membina persahabatan dengan orang-orang shaleh.” Dikisahkan di zaman Habib ali hiduplah seorang yang saleh bernama Syekh Ahmad Ali Makarim, ia seorang yang kaya namun hatinya selalu terikat dan mencintai kaum sholihin, ia melayani mereka bahkan mengikuti jejak mereka terutama al-Habib Ali Habsyi. Diceritakan bahwa ia suka mengahdiri majelisnya al-Habib Ali Habsyi. Ia selalu menulis berbagai macam niat di balik jendela, jadi bila ingin keluar rumah menuju pasar untuk berdagang ia selalu membacanya, diantara niat-niat itu: “Aku niat memberi pinjaman orang yang mau pinjam, aku niat mencari rezeki halal, aku berniat menjaga harga diriku, aku berniat menolong kerabatku, aku berniat menafkahi anakku.” Dan seterusnya. Niat-niat ini beliau tanamkan dalam hati hingga ketika keluar beliau diliputi keberkahan dari Allah swt. Dikisahkan juga, biasanya sekitar satu jam sebelum maghrib syeikh Ahmad pulang ke rumah lalu membawa segentong air lantas ia bawa ke tempat majelis Habib Ali, di sana air itu ia bagikan kepada para hadirin. Lantaran ia sudah tua banyak orang yang bilang, “Wahai Abdullah kiranya engkau serahkan saja pada orang lain untuk membawanya meski dengan upah kecil pasti mau.” Ia menjawab, “Tolong jangan kalian haramkan aku untuk melayani para ulama.” Bukan itu saja, ia juga menjadi tukang sapu di Masjid Thoha, mereka menanyakannnya perihal menyapu ini, “Biar orang lain saja yang menggantikanmu menyapu masjid ini dengan upah sedikit roti dan kurma.” Ia balik menjawab, “Kenapa kalian ini kok banyak mempermasalahkan aku untuk menajdi penyapu di masjid ini?” Lalu ia mengambil tanahnya masjid, melihat ini banyak orang yang Tanya, “Kalau begitu tanah ini untuk apa?” Ia menjawab, “Tanah ini akan aku jadikan bagian dari kuburku, bayangkan saja tanah ini sudah dilewati oleh kaki orang-orang yang shalat, diantara mereka ada paar ulama, para wali, orang-orang shaleh, orang yang gemar membaca al-Quran, para ahli dzikir dan orang-orang taat lainnya.” Syekh Ahmad Ali Makarim wafat pada tanggal 16 Dzulhijjah 1301 H. Jenazah beliau dishalatkan oleh sayyidinal Imam al-Kabir al-Quthb Idrus bin Umar al-habsyi di Masjid Thoha bin Umar as-Shofi.
Tiga, Imamul Haddad mengatakan: Ada pula orang yang bergaul dan sering-sering duduk bersama kalangan ulama dan shalihin dengan tujuan agar beroleh barokah (berkah) dan doa-doa saleh mereka tanpa mempunyai niat dan tujuan untuk meneladani akhlak mereka atau meniru perilaku mereka. Orang seperti itu -- betapapun -- tidak akan terluput sama sekali dari keberkahan dan kebaikan, sebab ia menjadikan, sebagai teman pergaulannya, kalangan shalihin yang dalam suatu hadis Qudsi disebutkan: Mereka itulah yang tak seorang pun bergaul dengan mereka akan tertimpa nestapa." Dengan demikian, siapa saja yang sering-sering duduk bersama-sama orang-orang saleh seperti itu, berkat pergaulannya itu, telah membentengi dirinya dari kedurhakaan kaum zhalim, baik dari kalangan setan-setan manusia atau jin; di samping ia tidak akan dikecewakan dan tidak dihindarkan daripada memperoleh berkah mereka. Berkaitan dengan hal ini Habib Ali mengatakan: Cintailah kaum arif dan bijak, bersahabatlah dengan mereka. ketahuilah, jika mereka belum memberi manfaat kepadamu di kehidupan ini, mereka akan memberimu manfaat di akhirat nanti. Jika kau mengalami kesulitan di hari Kiamat kau bisa mendapat pertolongan dari mereka. Suatu hari Syekh Abdul Qadir al-Jailani melewati suatu kubur yang penghuninya sedang diadzab dan terdengar jeritannya. Para sahabatnya berkata, "Beriah syafaat kepada penghuni kubur!" Ia berkata, "Berikan alasan yang dengannya aku bisa meminta syafaat kepada Allah. Apakah kalian pernah melihatnya menghadiri pengajianku?" Mereka berkata, "Tidak". Syekh berkata, "Apakah kalian pernah melihatnya memandangku?" Mereka menjawab, "Tidak, namun, ia pernah melihat kepulan debu yang engkau terbangkan ketika engkau lewat di suatu jalan."Syekh berkata, "Nah sekarang wajib baginya syafaatku." Beliau lalu berdiri di pinggir kubur, sesaat kemudian tidak terdengar lagi suara jeritan penghuni kubur. Syekh berkata, "Aku telah memintakan kepada Allah syafaat baginya, dan Allah mengabulkan." Manusia mencintai dan bersahabat dengan kaum sholihin tidak lain karena mengharap syafaat mereka.
Empat, Tidak seorang pun akan dijauhkan dari itu dan dikecewakan, kecuali yang mendekatkan diri dan bergaul dengan para shalihin semata-mata agar diketahui perbuatannya itu oleh orang banyak. Dengan begitu membuka kemungkinan baginya untuk melibatkan diri dalam urusan-urusan yang diharamkan dalam syariat, dengan suatu asumsi yang keliru dan itikad yang buruk. Yaitu dengan perhitungan jika mereka mengetahuinya sebagai orang yang dekat dan sering bergaul dengan para shalihin tersebut, tentu orang banyak tidak akan berprasangka buruk terhadap dirinya atau berani menuduhnya telah melanggar segala yang haram dan menerjang segala pantangan agama. Niat busuk seperti itu memang tidak aneh jika dipraktekkan oleh orang-orang yang dihinakan Allah dan dimurkai-Nya. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali rahimahullah menyebutkan dalam bagian mengenai riya, tentang adanya orang-orang yang berpura-pura mengerjakan berbagai ketaatan pada Allah agar dikenal sebagai seorang yang taat, dan dengan begitu terbuka jalan baginya untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan durjana. Jika yang seperti itu dapat terjadi, demikian pula dalam pergaulan para shalihin. Setan memang merupakan musuh manusia senyata-nyatanya; dia banyak sekali memiliki cara, mengecoh dan mengelabui seperti ini, dan masih ada lagi lainnya yang ebih berbahaya, lebih busuk dan lebih besar mudaratnya. Semoga Allah melimpahkan keselamatan dan penjagaan atas diri kita. Sesungguhnya Ia-lah sebaik-baik pemberi keselamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar